JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menyebut terjadi insiden pengusiran terhadap pengawas oleh petugas KPU, ketika pengawas tersebut sedang mengawasi proses pemutakhiran daftar pemilih.
Sebagai informasi, tahapan pemutakhiran daftar pemilih saat ini sudah memasuki penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), terhitung sejak 21 Mei 2023.
Menurut Bagja, peristiwa itu terjadi di 2 kabupaten dalam 1 provinsi yang sama, ketika rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) beberapa waktu lalu.
"Kami protes, (dalam pengawasan) DPS, ada (pengawas) yang disuruh keluar. Apa-apaan!" kata Bagja kepada wartawan, Senin (12/6/2023).
Baca juga: Bawaslu Kesulitan Proses Ijazah Palsu Bacaleg karena KPU Tak Beri Akses Penuh
Bagja mengultimatum KPU bahwa insiden semacam itu tak boleh lagi terulang. Jika terjadi lagi, maka pihaknya disebut tak akan segan memidanakan KPU dengan ketentuan Pasal 512 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017.
Pasal tersebut mengatur bahwa setiap anggota KPU di segala jenjang, termasuk badan ad hoc di bawah KPU, dapat diancam pidana maksimum 3 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Hal ini berlaku jika mereka tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam setiap tahapan pemutakhiran data serta penyusunan dan pengumuman daftar pemilih, yang pada akhirnya merugikan WNI yang memiliki hak pilih.
"KPU itu bagian dari kami, penyelenggara pemilu, penyelenggara utama, jika kami diusir berarti kami bukan penyelenggara sepertinya," kata Bagja.
Baca juga: Bawaslu Siapkan Mitigasi Pengawasan Surat dan Kotak Suara Pemilu 2024
Persoalan transparansi data KPU yang menyulitkan Bawaslu ini menjadi isu yang terjadi di segala tahapan pemilu.
Pada tahapan pemutakhiran daftar pemilih, friksi KPU versus Bawaslu terkait transparansi ini telah terjadi sejak tahapan pertama, yaitu pencocokan dan penelitian (coklit) dalam penyusunan DPS.
Februari lalu, Bagja mengeklaim pihaknya akan melaporkan KPU Presiden RI Joko Widodo karena tidak dibaginya akses data pemilih menyebabkan pihaknya kesulitan melakukan pengawasan coklit.
Hal ini, menurut Bagja, bertentangan dengan pesan Presiden Jokowi dalam Konsolidasi Nasional Bawaslu pada 17 Desember 2022.
Baca juga: KPU Hapus Wajib Lapor Sumbangan Kampanye, Tugas Berat Disebut Menanti Bawaslu
"Bapak Presiden Joko Widodo mengingatkan jika ada lembaga pemerintah yang menghalang-halangi Bawaslu untuk mengakses data pemilih, maka laporkan kepada Presiden. Kami akan laporkan," ujar Bagja kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).
"Ini sebenarnya sudah tegas Pak Presiden ngomong seperti itu dan sekarang kami akan melakukan itu," ia melanjutkan.
Dalam acara Konsolidasi Nasional Bawaslu, Presiden Jokowi mengingatkan agar Bawaslu bekerja keras mengawasi penyusunan daftar pemilih tetap (DPT). Alasannya, kata dia, setiap pemilu DPT selalu menjadi polemik dan menjadi tudingan kecurangan.
"Saya berharap Bawaslu benar-benar bekerja keras mengawasi proses penyusunan DPT ini," kata Jokowi, dikutip situs resmi Bawaslu RI.
Mantan Gubernur DKI itu menegaskan agar Bawaslu melaporkan kepadanya jika ada dari pihak pemerintah yang menghambat dan tidak kooperatif.
Baca juga: Bawaslu Bakal Kerja Sama dengan Penegak Hukum soal Dugaan Dana Narkoba untuk Pemilu
"Nanti, Pak Rahmat Bagja laporkan ke saya. Karena, urusan DPT ini sangat krusial dari tahun ke tahun dan sangat memengaruhi kepercayaan masyarakat kita. Hati-hati mengenai ini (daftar pemilih) dan mungkin yang terberat karena melibatkan jumlah pemilih yang sangat besar," tegas politikus PDI-P itu.
Bagja membandingkan keadaan ini dengan saat Bawaslu juga mengaku kesulitan mengakses data keanggotaan partai politik dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU pada semester kedua 2022, saat pendaftaran dan verifikasi calon peserta Pemilu 2024 berlangsung di KPU.
"Ada apa lagi, pertanyaannya, apakah tidak mau diawasi?Jangan sampai lagi ditutup-tutupi lah," tambahnya.
Baca juga: Wanti-wanti Mahfud ke KPU dan Bawaslu: Siap-siap Digugat karena Pemilu Curang
Bagja meminta agar KPU tidak berlindung di balik dalih kerahasiaan data pribadi. Menurutnya hal itu ganjil, sebab pantarlih yang secara entitas tidak disebutkan dalam Undang-undang Pemilu pun, diberikan data tersebut untuk melakukan coklit.
Sementara itu, Bawaslu merupakan lembaga negara penyelenggara pemilu yang sifatnya resmi dan bertugas mengawasi kinerja KPU.
"Pantarlih kan panitia, KPU membuka data daftar pemilih. Tapi, kepada bawaslu, KPU tidak membukanya. Ada apa? Pertanyaannya itu. Buka dong," ungkap Bagja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.