Menjadi lumrah, bila politisi lebih banyak dan gencar menampilkan performa diri yang kadang semu, atau panjat sosial, daripada turun ke masyarakat. Seperti yang tercermin dalam media sosialisasi mereka.
Alih-alih mengajak calon konstituen untuk mengenal dan memahami pemikiran para politisi, iklan-iklan tersebut tidak lebih dari parade gambar wajah politisi, yang tak ubahnya iklan produk kosmetik.
Gaya berkampanye yang lebih mengedepankan citra dan penampilan luar tanpa ada pesan yang kuat menunjukan dunia politik saat ini, tak lebih dari panggung hiburan yang sarat dengan gaya narsistik.
Banyaknya iklan yang seragam dan minim kreativitas tentunya menanggalkan esensi iklan politik. Padahal iklan politik tentu bukan hanya sekadar parade gambar para politisi tapi ada agenda politik yang mesti turut dijabarkan.
Iklan politik juga tidak sekadar upaya meningkatkan popularitas politisi lewat gimmick dan perlombaan pajang tampang di berbagai tempat, yang kadang menjadi sampah visual.
Sampah visual adalah istilah yang digunakan untuk mengkritisi penggunaan atau pemasangan beragam iklan seperti baliho, spanduk yang menabrak ketentuan atau aturan, estetika, norma-budaya dan pranata sosial.
Selain itu, di era kekinian, di mana distribusi iklan politik lewat media digital makin menemukan momentum, sebaran iklan berupa flayer di media sosial pun bisa jadi tumpukan sampah visual, bila tak berdampak mempersuasi khalayak.
Substansi dan tujuan iklan politik adalah meningkatkan elektabilitas (keterpilihan). Sehingga, jika suatu iklan politik tidak berkorelasi dengan elektabilitas, pastinya iklan politik itu adalah sampah politik dari proses politik yang tengah dijalani.
Persoalan mendasar kenapa iklan politik para politisi ini menjadi sampah politik adalah, rata-rata iklan politik yang dibuat tidak berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas, meskipun turut mendongkrak popularitas.
Iklan politik yang kurang berbanding lurus atau tidak berdampak elektoral terhadap elektabilitas menunjukan bahwa penetrasi iklan tersebut belum atau tidak tepat pada sasaran.
Padahal merancang iklan politik sebenarnya relatif sama atau tak ada bedanya dengan iklan produk komersial, yang juga harus mampu mengidentifikasi selera atau keinginan konsumen (baca; pemilih).
Jika mau belajar pada pembuatan iklan produk komersial, hampir semua produk menetapkan segmen pasar atau ceruk market yang akan dipersuasi. Itu artinya, tidak ada satupun iklan komersial yang tak menetapkan segmen pasar.
Dalam konteks tersebut, Smith dan Hirst (2001) berpendapat bahwa institusi politik perlu melakukan segmentasi politik, terutama dalam pemakaian iklan politik. Menurut mereka, perlu segmentasi disebabkan beberapa hal atau indikator.
Pertama, tidak semua segmen pasar politik harus dimasuki. Hanya segmen-segmen pasar yang memiliki ukuran dan jumlah signifikanlah yang sebaiknya diperhatikan atau disasar.
Kedua, sumber daya politik bukannya tidak terbatas. Seringkali partai politik dan politisi (caleg) harus melakukan aktivitas yang menjadi prioritas utama mengingat keterbatasan sumber daya.
Ketiga, terkait dengan efektifitas program komunikasi politik yang akan dilakukan. Masing-masing segmen politik memiliki ciri dan karakteristik yang berlainan atau tidak sama.
Kenyataan ini menuntut pendekatan yang dilakukan juga harus membedakan (diferensiasi) hal-hal yang ditujukan kepada satu kelompok (masyarakat) dengan hal-hal yang ditunjukkan kepada kelompok lainnya.
Misalnya, pendekatan politik melalui iklan politik di kota berbeda dengan di pelosok desa; kepada pemilih pemula berbeda dengan pemilih yang sudah mapan pilihan politiknya, dan sebagainya.
Iklan politik outdoor mesti berbeda tampilan atau kontennya dengan di indoor, termasuk bila iklan itu di media sosial, harus berbeda antara di platform yang diikuti followers-nya dengan yang digunakan secara bersama.