Pancasila yang moderat juga tidak bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan yang ‘radikal-ekstrem’, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.
Pemahaman nasionalisme yang ultranasionalisme dan menjurus chauvinisme, juga keagamaan yang radikal-ekstrem semacam cita-cita negara agama atau teokrasi dan fundamentalisme agama, tidak relevan dengan nilai Pancasila.
Termasuk multikulturalisme radikal-ekstrem (pluralisme dan liberal-sekuler) serta semua ideologi radikal-ekstrem lainnya, seperti komunisme juga liberalisme-sekularisme, tentu tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat itu.
Pancasila sejauh ini terbilang sukses memoderasi berbagai pemahaman yang berkembang di masyarakat untuk berimbang dan terbuka. Inilah yang dapat disebut the moderating effect of Pancasila atau efek moderat dari Pancasila.
Sehingga meski dengan populasi besar, tersebar di banyak pulau, dengan bahasa, suku, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda, tapi mau melebur atau menyatu dalam satu negara-bangsa; Indonesia.
Sekalipun syarat negara kesatuan (meminjam pendapat Raymond Garfield Gettell, profesor ilmu politik Amerika Serikat) terdiri dari: satu daratan; tidak luas wilayahnya; tidak banyak penduduknya; dan tidak majemuk masyarakatnya.
Semua syarat-syarat yang sejatinya inkompatibel atau diametral dengan Indonesia sebagai negara kesatuan, namun Pancasila mampu memoderasi ‘anomali’ yang ada, sehingga Indonesia tetap eksis hingga saat ini.
Pancasila teruji efektif sebagai instrumen pemersatu. Karena meskipun menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer, laksana “air dan minyak”, namun dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan, yaitu Pancasila.
Bila membaca butir-butir Pancasila, tentu terlihat bahwa sesungguhnya Pancasila adalah guidance untuk (for) menuju pada satu titik utama atau gerbang yang termaktub pada sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itu artinya, Pancasila sejatinya adalah untuk menuntun Indonesia menuju kesejahteraan bersama. Merupakan paradigma untuk mengaktualisasikan keadilan bagi semua anak bangsa.
Namun melihat realitas kekinian, selama Indonesia bergulir, harus diakui masih jauh dari harapan, utamanya terkait keadilan distributif. Semua itu dapat dilihat dari ketimpangan atau disparitas pembangunan, khususnya antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Memang wajah ketimpangan tidak saja terkait atau hanya di wilayah timur, sejumlah daerah di kawasan barat juga kondisinya masih memprihatinkan. Namun secara vulgar, disparitas itu terlihat begitu mencolok antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI tahun 2019, menyebutkan ketimpangan antar wilayah di Indonesia sangat tinggi. Kemiskinan di kawasan timur Indonesia sebesar 18,01 persen, sementara kawasan barat Indonesia 10,33 persen.
Ketimpangan pun dapat diperiksa pada urusan pendidikan. Misalnya, Webometrics, lembaga pemeringkat perguruan tinggi terbaik di dunia, pada edisi Februari 2023, kembali menempatkan 10 kampus terbaik di Indonesia ada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Begitu pula dalam berbagai temuan data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hampir semua indeks ketertinggalan yang mempertegas ketimpangan dan ketidakadilan secara nasional berada di kawasan timur Indonesia.