Dalam pidatonya kala itu, Soekarno menyampaikan ide serta gagasannya terkait dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamai “Pancasila”. Panca artinya lima, sedangkan sila artinya prinsip atau asas.
Terdiri dari, sila pertama “Kebangsaan”, sila kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”, sila ketiga “Demokrasi”, sila keempat “Keadilan sosial”, dan sila kelima “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Memperingati hari di mana Pancasila pertama kali dicetus tentu saja menjadi momentum penting bagi setiap generasi bangsa untuk memaknai, memahami dan kemudian mengimplementasikan nilai-nilainya dengan lebih baik dan sungguh-sungguh.
Bukan basa-basi, sekadar seremonial, simbolik atau rutinitas tahunan tanpa ada implikasi pada diri, lingkungan sosial serta kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih luas.
Dalam kaitan itu, saya ingin mengajak kita untuk melihat atau membaca Pancasila dalam dua konteks; Pancasila dari (from) dan Pancasila untuk (for).
Pancasila dari?
Pancasila jelas merupakan fondasi kebangsaan yang berasal atau dihasilkan oleh para pendiri bangsa. Merupakan kesepakatan agung, hasil dari (from) jiwa kenegarawanan melalui musyawarah-mufakat.
Perumusannya dinamis sejak tercetus dalam Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga naskah final 18 Agustus 1945. Adalah konsensus nasional berbagai golongan yang berlatar belakang majemuk, menjadi Bhinneka Tunggal Ika.
Naskah Pancasila yang kita kenal saat ini, disusun dan disempurnakan oleh panitia Sembilan, yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, AA Maramis, dan Achmad Soebardjo.
Oleh Soekarno, Pancasila diposisikan sebagai “philosophische grondslag” atau “weltanschauung”. Yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.
Satu konklusi yang moderat atau ‘tengah’ karena ada kebesaran jiwa para tokoh bangsa untuk bersedia melepas “tujuh kata” dari rumusan pada Piagam Jakarta, untuk kemudian dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Itu artinya, Pancasila yang dalam proses dan dinamika perumusannya pernah sedikit berada di ‘kanan’ atau ‘konservatif agama’, kemudian melalui satu konsensus bersama menjadi beringsut ke ‘tengah’, lebih moderat.
Dengan bergeser dan berada di ‘tengah’, Pancasila menjadi tumpuan yang kuat atau dapat turut menjaga keseimbangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikultur ini.
Karenanya Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan harus terus diposisikan di ‘tengah’, sehingga menjadi rujukan bersama dalam mengelola kompleksitas berbangsa dan bernegara.
Pancasila sampai kapan pun jangan ditarik ke ‘kanan’ dan ke ‘kiri’, karena bila itu terjadi selain a history, juga sejatinya telah menggeser atau bahkan merusak pondasi ke-Indonesiaan yang kokoh itu.
Pancasila yang moderat juga tidak bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dengan pandangan-pandangan yang ‘radikal-ekstrem’, karena akan bertentangan dengan hakikat Pancasila itu sendiri.
Pemahaman nasionalisme yang ultranasionalisme dan menjurus chauvinisme, juga keagamaan yang radikal-ekstrem semacam cita-cita negara agama atau teokrasi dan fundamentalisme agama, tidak relevan dengan nilai Pancasila.
Termasuk multikulturalisme radikal-ekstrem (pluralisme dan liberal-sekuler) serta semua ideologi radikal-ekstrem lainnya, seperti komunisme juga liberalisme-sekularisme, tentu tidaklah sejalan dengan Pancasila yang berwatak-dasar moderat itu.
Pancasila sejauh ini terbilang sukses memoderasi berbagai pemahaman yang berkembang di masyarakat untuk berimbang dan terbuka. Inilah yang dapat disebut the moderating effect of Pancasila atau efek moderat dari Pancasila.
Sehingga meski dengan populasi besar, tersebar di banyak pulau, dengan bahasa, suku, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda, tapi mau melebur atau menyatu dalam satu negara-bangsa; Indonesia.
Sekalipun syarat negara kesatuan (meminjam pendapat Raymond Garfield Gettell, profesor ilmu politik Amerika Serikat) terdiri dari: satu daratan; tidak luas wilayahnya; tidak banyak penduduknya; dan tidak majemuk masyarakatnya.
Semua syarat-syarat yang sejatinya inkompatibel atau diametral dengan Indonesia sebagai negara kesatuan, namun Pancasila mampu memoderasi ‘anomali’ yang ada, sehingga Indonesia tetap eksis hingga saat ini.
Pancasila teruji efektif sebagai instrumen pemersatu. Karena meskipun menurut sejarawan Furnivall (2009) bangsa majemuk pada dasarnya nonkomplementer, laksana “air dan minyak”, namun dapat bersatu karena ada nilai yang mempersatukan, yaitu Pancasila.
Pancasila untuk?
Bila membaca butir-butir Pancasila, tentu terlihat bahwa sesungguhnya Pancasila adalah guidance untuk (for) menuju pada satu titik utama atau gerbang yang termaktub pada sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itu artinya, Pancasila sejatinya adalah untuk menuntun Indonesia menuju kesejahteraan bersama. Merupakan paradigma untuk mengaktualisasikan keadilan bagi semua anak bangsa.
Namun melihat realitas kekinian, selama Indonesia bergulir, harus diakui masih jauh dari harapan, utamanya terkait keadilan distributif. Semua itu dapat dilihat dari ketimpangan atau disparitas pembangunan, khususnya antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Memang wajah ketimpangan tidak saja terkait atau hanya di wilayah timur, sejumlah daerah di kawasan barat juga kondisinya masih memprihatinkan. Namun secara vulgar, disparitas itu terlihat begitu mencolok antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI tahun 2019, menyebutkan ketimpangan antar wilayah di Indonesia sangat tinggi. Kemiskinan di kawasan timur Indonesia sebesar 18,01 persen, sementara kawasan barat Indonesia 10,33 persen.
Ketimpangan pun dapat diperiksa pada urusan pendidikan. Misalnya, Webometrics, lembaga pemeringkat perguruan tinggi terbaik di dunia, pada edisi Februari 2023, kembali menempatkan 10 kampus terbaik di Indonesia ada di Pulau Jawa dan Sumatera.
Begitu pula dalam berbagai temuan data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hampir semua indeks ketertinggalan yang mempertegas ketimpangan dan ketidakadilan secara nasional berada di kawasan timur Indonesia.
Seperti Indeks Pembangunan Manusia, Persentase Penduduk Miskin, Indeks Ketahanan Pangan, Prevalensi Balita Gizi Buruk, Indeks Rata-Rata Lama Sekolah dan pemeringkatan lainnya oleh BPS, dari tahun ke tahun selalu menempatkan kawasan timur Indonesia di urutan terbawah.
Kenyataan di atas memperlihatkan bahwa ada yang keliru dalam skema dan orientasi pembangunan nasional. Distribusi keadilan belum mengejawantahkan amanat konstitusi, sekalipun Pancasila menyebutkan kata ‘adil’ dua kali, yaitu pada sila kedua dan kelima.
Realitas ketimpangan juga semakin diperburuk oleh fenomena oligarki yang makin menggurita. Seperti yang diungkap dalam makalah berjudul Reflections on Oligarchy, Democracy, and The Rule of Law in Indonesia, ditulis Jeffrey A. Winters, Ph.D.(2021).
Winters membagi kekayaan rata-rata 40 orang terkaya Indonesia dengan posisi kekayaan rata-rata warga negara (menggunakan PDB per kapita sebagai proksi).
Menunjukkan bahwa kesenjangan kekayaan-kekuatan yang sudah besar di Indonesia pada tahun 2010 makin berkembang pesat selama satu dekade terakhir.
Dijelaskan pula bahwa rata-rata oligarki teratas di Indonesia itu memiliki sekitar 570.988 kali lipat kekuatan kekayaan dari warga negara rata-rata pada tahun 2010. Kondisi ini meningkat 759.420 kali pada tahun 2020, atau naik sebesar 33 persen.
Itu berarti, konsentrasi kekayaan di kalangan oligarki di Indonesia meningkat signifikan, lebih cepat daripada pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan.
Sebelum makalah Winters dirilis pun, sebenarnya berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse tahun 2017 telah pula memperlihatkan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat empat negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia, menurut lembaga yang berpusat di Swiss itu.
Realitas ketimpangan yang ada, dan tentu masih banyak lagi bila mau dijelaskan lebih jauh, mestinya menyadarkan kita sebagai sebuah bangsa, bahwa ada persoalan besar dan mendasar, yang mengkonfirmasi bahwa Pancasila belum benar-benar ditunaikan.
Jika dibiarkan terus berlanjut, ketidakadilan serta ketimpangan semakin memperkuat political discontent atau kekecewaan politik di kalangan anak bangsa, yang tentu saja pelan tapi pasti, akan mengancam persatuan dan integrasi nasional.
Peringatan Hari Lahir Pancasila mestinya turut melahirkan kesadaran baru akan realitas kekinian, sehingga semua komponen bangsa dapat terlibat aktif dalam mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selamat Hari Pancasila, no justice no peace!
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/01/06093651/pancasila-dari-dan-untuk-siapa