Bila kandidat tersebut tidak terpilih atau terpilih namun bermasalah di internal, ia bisa saja dengan mudah meninggalkan partai dengan mencari partai lain yang dianggapnya lebih menguntungkan terhadap karier dirinya.
Ini sebabnya perpindahan caleg dari satu partai ke partai lainnya mirip transfer pemain sepakbola yang terjadwal di musim panas atau musim dingin jadwal kompetisi liga layaknya pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali.
Partai tujuan perpindahan pun merasa tidak masalah dengan proses transfer ini asalkan politisi tersebut memiliki uang, popularitas dan kontribusi untuk menambah suara di pemilu.
Akibatnya istilah “politisi kutu loncat” yang merujuk pada sifat alami tikus yang suka meloncat dari satu tempat ketempat lain untuk mendapatkan makanan.
Pada konteks politik elektoral, makanan ini adalah kekuasaan yang diperuntukkan untuk dirinya dan kelompoknya.
Padahal dalam upaya pelembagaan partai politik untuk tujuan kemajuan demokrasi di Indonesia, loyalitas kader dalam menjaga dan mempertahankan nilai-nilai ideologi partai menjadi sebuah keharusan yang terus dijaga.
Sifat pragmatisme dan oportunis para oknum politisi harus dipangkas. Caranya tentu saja dengan mengembalikan sistem pemilu di Indonesia dengan proporsional tertutup melalui pembentukan karakter dan jiwa kader yang loyal terhadap perjuangan partai untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.