Selain itu manakala kita melihat kebelakang dan memandang kedepan, tak terelakkkan bahwa partai politik merupakan sendi utama pembangunan bangsa baik dalam pencapaian kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pembangunan infrastruktur hingga politik luar negeri diawali dari pelembagaan partai politik.
Artinya pelembagaan partai politik harus mendorong partai politik menjadi lebih mapan. Pelembagaan partai yang kuat harus didorong pula oleh kemauan setiap partai politik melakukan kaderisasi yang mengakar dari kecamatan, kelurahan, hingga RT/RW.
Sehingga antara partai politik dan masyarakat tidak lagi memiliki jarak. Khususnya bagi mereka kader partai yang telah terpilih menjadi pejabat publik tidak menganggap dirinya sebagai elite yang terpisah dengan masyarakat.
Dengan tidak berjaraknya masyakat dan partai politik konsekuensi yang diharapkan adalah transparansi, akuntabilitas dan demokrasi internal partai akan tercipta dengan fokus utama dari penguatan pelembagaan partai politik.
Pun ketika masyarakat benar-benar merasakan kehadiran partai di tengah sendi-sendi kehidupan mereka, maka secara otomatis akan melahirkan pengakuan dan jaminan partisipasi.
Masyarakat pada akhirnya tidak hanya memandang individu, tapi memandang kontribusi kepartaian melalui kader yang turun langsung ke masyarakat.
Paradigma masyarakat pun secara perlahan akan berubah dalam memandang kontestasi Pemilu bahwa partisipasi politik adalah kerelaan masyarakat datang ke bilik suara, bukan hasil dari mobilisasi atas imbalan uang/sembako yang ditawarkan oleh oknum politisi.
Pada negara demokrasi yang telah mapan, khususnya di Amerika Serikat (AS) pelembagaan partai politik adalah hasil dari pertarungan antara Partai Republik dan Partai Demokrat melalaui persaingan kelembagaan dalam upaya perluasan partisipasi.
Semua program yang ditawarkan dalam bentuk proposal kampanye didasarkan pada nilai-nilai ideologis identitas kepartaian (Party-ID).
Juga pada setiap pelembagaan partai politik, core perjuangan kekuasaan setiap politisi berakar pada nilai yang baku dan stabil dari partai dengan indikator kebutuhan masyarakat
Konsekuensi dari sistem Pemilu proporsional terbuka adalah lahirnya oknum politisi yang maju di Pemilu tapi tidak memedulikan idelogi kepartaian.
Asal partai tersebut memiliki peluang lolos parlementary threshold (PT) 4 persen ke DPR, politisi tersebut tidak peduli dengan nomor urut yang diberikan partai padanya pada proses pencalegan.
Alasannya dengan proporsional terbuka, pemilih diberi keleluasaan dalam memilih gambar caleg atau lambang partai dalam persaingan internal dengan kandidat lainnya di dapil.
Kemudian bila kandidat tersebut mendapatkan suara terbanyak di antara caleg lainnya, maka suara pemilih yang mencoblos/mencontreng lambang partai akan jatuh pada pemegang suara tertinggi di internal.
Dampak dari sistem seperti ini jelas membahayakan bagi proses kaderisasi partai karena caleg yang baru bergabung satu atau dua minggu sebelum proses penyerahan nama ke KPU bisa terpilih, padahal kehadirannya di partai baru seumur sayur toge.