Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Posisi MK yang Kian Terkunci untuk Tolak Proporsional Tertutup

Kompas.com - 31/05/2023, 09:44 WIB
Achmad Nasrudin Yahya

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat tengah dihebohkan dengan informasi mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan mengubah sistem pemilihan umum (pemilu), dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Informasi ini berangkat dari pengakuan pakar hukum tata negara, Denny Indrayana yang mengklaim mendapat bocoran jika MK bakal mengabulkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 168 Ayat 2 tentang sistem proporsional terbuka.

Pernyataan Denny pun menimbulkan kegaduhan dan membuat posisi MK kian terkunci untuk menolak proporsional tertutup.

Hal ini tak lepas setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sampai-sampai memerintahkan polisi untuk menyelidiki kebocoran informasi tersebut.

Sementara, di lingkar partai politik (parpol) tak kalah berbeda. Setidaknya delapan fraksi DPR RI menolak sistem proporsional tertutup.

Proporsional tertutup

Awalnya, Denny mengaku mendapat informasi penting terkait sistem pemilu yang tengah digugat di MK.

Ia mengungkapkan bahwa sistem pemilu tidak menutup kemungkinan bakal berubah menjadi proporsional tertutup.

"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," ujar Denny lewat akun Twitter-nya, @dennyindrayana pada Minggu (28/5/2023).

Dalam kicauannya, Denny mengatakan bahwa sumber informasi itu bukan dari Hakim Konstitusi.

Baca juga: Soal Informasi MK Putuskan Proporsional Tertutup, Anggota DPR Singgung Kewenangan Budgeting

Namun, ia meamstikan bahwa sumber informasinya kredibel.

"Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi," tulis Denny.

"Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," sambung Denny.

Minta polisi selidiki

Pernyataan Denny langsung mendapat reaksi dari Mahfud.

Mahfud mengatakan, dugaan kebocoran putusan MK yang disebutkan oleh Denny harus diselidiki oleh aparat kepolisian karena menjadi preseden buruk dan bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara.

"Terlepas dari apa pun, putusan MK tak boleh dibocorkan sebelum dibacakan. Info dari Denny ini jadi preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tak jadi spekulasi yang mengandung fitnah," ucap Mahfud melalui Twitter @mohmahfudmd.

Sebagai orang yang pernah menjadi Hakim Konstitusi, Mahfud saja mengaku tak berani menanyakan soal putusan yang belum dibacakan kepada pihak MK.

Oleh karena itu, Mahfud mendesak agar MK bisa mencari pihak yang membocorkan informasi tersebut.

"Putusan MK itu menjadi rahasia ketat sebelum dibacakan, tapi harus terbuka luas setelah diputuskan dengan pengetokan palu vonis di sidang resmi dan terbuka. Saya yang mantan Ketua MK saja tak berani meminta isyarat apalagi bertanya tentang vonis MK yang belum dibacakan sebagai vonis resmi. MK harus selidiki sumber informasinya," ujar Mahfud.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan tak menutup kemungkinan akan melakukan penyelidikan.

Ia memastikan bahwa penyelidikan itu dilakukan secara terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi berkepanjangan di tengah masyarakat.

"Terkait dengan situasi yang beredar di pemberitaan, dan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Menko Polhukam (Mahfud MD) supaya tidak terjadi polemik yang berkepanjangan, tentunya kalau memang dari situasi yang ada ini kemudian memungkinkan, sesuai dengan arahan Beliau untuk melakukan langkah-langkah penyelidikan, untuk membuat terang tentang peristiwa yang terjadi," kata Listyo.

Dibantah MK

Pihak MK sendiri telah membantah atas informasi yang disampaikan Denny.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, persidangan atas gugatan tersebut masih berjalan.

Dia menyebut, jadwal untuk pengambilan keputusan pun belum dilakukan karena masih berada di proses penyerahan kesimpulan para pihak.

"Yang pasti sesuai agenda persidangan terakhir kemarin, tanggal 31 Mei mendatang penyerahan kesimpulan para pihak," ujar Fajar.

Baca juga: Mahfud Sebut Sudah Laporkan Isu Dugaan Kebocoran Putusan MK ke Istana

Perihal jadwal sidang putusan gugatan tersebut juga akan disampaikan melalui situs resmi apabila sudah dijadwalkan.

"Kalau sudah, pada saatnya nanti pasti akan dan harus di-publish lewat jadwal sidang di laman mkri.id," kata dia.

PDI-P hormati putusan

Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira memastikan partainya akan menghormati apa pun keputusan MK perihal gugatan sistem pemilu.

Jika pada akhirnya MK mengambil keputusan untuk mengubah sistem pemilu, Andreas menilai bahwa itu akan berdampak pada segala aspek yang sudah dipersiapkan oleh penyelenggara pemilu.

Meski demikian, Andreas mengingatkan bahwa para penyelenggara harus tetap profesional dalam menyiapkan pelaksanaan pemilu.

"Sebagai penyelenggara pemilu yang profesional harus menyiapkan dengan kemungkinan yang ada," ungkap Andreas dalam Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Selasa (30/5/2023).

8 fraksi menolak

Delapan fraksi partai politik di DPR menyatakan salam komando usai konferensi pers menyikapi sistem pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Delapan fraksi partai politik di DPR menyatakan salam komando usai konferensi pers menyikapi sistem pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Merespons bocornya informasi putusan MK, sebanyak delapan fraksi DPR RI telah menyatakan sikapnya menolak diterapkannya sistem proporsional tertutup.

Kedelapan fraksi tersebut yakni Partai Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PAN, Partai Demokrat, Nasdem, dan PKS. Sementara, PDI-P tak ikut dalam barisan penolak.

Dalam penyampaian sikap penolakan, anggota Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman menyinggung soal kewenangan DPR jika MK bersikeras memutus perkara sistem pemilu menjadi proporsional tertutup.

Kewenangan DPR yang dimaksud adalah terkait budgeting atau penganggaran terhadap institusi atau lembaga negara yang menjadi mitranya.

Baca juga: Masyarakat Sipil Minta MK Tegur KPU soal Aturan Eks Terpidana Jadi Caleg

Mulanya, Habiburokhman mengatakan bahwa DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki sejumlah kewenangan.

Namun, dia mengatakan, pihaknya tak ingin pamer kekuasaan atas beragam kewenangan yang diberikan kepada DPR.

Ia pun menyinggung bila MK bersikeras dengan informasi yang beredar, bahwa sudah diputuskan sistem pemilu proporsional tertutup, maka DPR akan menggunakan kewenangan budgeting terhadap MK.

"Ya jadi kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, tapi juga kita akan mengingatkan bahwa kami legislatif juga punya kewenangan apabila memang MK berkeras," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa.

"Kami juga akan menggunakan kewenangan kami ya. Begitu juga dalam konteks budgeting, kami juga ada kewenangan, mungkin itu," ujar anggota Komisi III DPR ini.

Konferensi pers itu pun disudahi dengan menegaskan bahwa delapan fraksi menyatakan sikap tetap menolak jika MK akhirnya mengabulkan gugatan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup.

(Penulis: Singgih Wiryono, Nicholas Ryan Aditya | Editor: Bagus Santosa, Icha Rastika)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com