Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Ingatkan KPU Ikuti Putusan MK soal Syarat Eks Terpidana Boleh Jadi Caleg

Kompas.com - 25/05/2023, 13:45 WIB
Syakirun Ni'am,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengikuti ketentuan norma dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hak politik mantan terpidana yang akan maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK Ali Fikri mengatakan, putusan MK itu menyatakan bahwa terpidana baru bisa mendapatkan hak politiknya lagi lima tahun setelah selesai menjalani masa pidananya atau bebas murni.

“Dalam penentuan syarat pencalonan anggota legislatif sudah seharusnya penyelenggara pemilu ikuti ketentuan norma sebagaimana putusan MK yang mensyaratkan bakal calon telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan narapidana selesai menjalani pidananya,” kata Ali kepada wartawan, Kamis (25/5/2023).

Baca juga: KPU Tak Masalah jika Aturan yang Ancam Jumlah Caleg Perempuan Digugat ke MA

Sebagai informasi, Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga KPU menyelundupkan pasal yang membuat mantan terpidana ancaman lima tahun penjara tidak harus menunggu lima tahun bebas murni untuk maju sebagai caleg.

Ketentuan ini berlaku jika terpidana itu divonis majelis hakim dengan pidana tambahan pencabutan hak politik.

Meski istilah "terpidana" tidak spesifik sebagai pelaku korupsi, pasal itu tetap dinilai berisiko memudahkan koruptor untuk bisa maju sebagai caleg.

Menurut Ali, pidana tambahan seperti pencabutan hak politik menjadi sanksi yang bertujuan untuk menimbulkan efek jera.

Pidana tambahan tersebut membuat hak politik pelaku menjadi hilang sehingga haknya untuk memilih atau dipilih dicabut dalam waktu tertentu.

Baca juga: Ancam Jumlah Caleg Perempuan, Aturan KPU Segera Digugat ke MA

“Sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan,” ujar Ali.

Adapun KPK, kata Ali, selama ini konsisten menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mencabut hak politik pelaku korupsi.

Di sisi lain, kata Ali, hukuman itu juga menunjukkan bahwa pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi telah mengingkari kepercayaan publik.

“KPK konsisten menuntut pidana tambahan pencabutan hak politik sekalipun sejauh ini Majelis hakim menjatuhkan putusan mencabut hak untuk tidak dipilih dalam jabatan publik bagi para koruptor rata-rata berkisar tiga tahunan setelah menjalani pidana pokok,” tuturnya.

Sebelumnya, dugaan KPU menyelundupkan pasal yang memudahkan mantan terpidana menjadi caleg dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).

Baca juga: KPK-KPU Sepakat Caleg Wajib Lapor LHKPN Setelah Jadi Calon Terpilih

Mereka menyebutkan, pasal itu diselundupkan di dalam Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023.

ICW menilai, pasal itu menabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023.

Putusan itu memberi syarat tambahan berupa masa jeda lima tahun setelah bebas murni bagi eks terpidana tadi yang hendak maju sebagai caleg.

Sementara itu, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengeklaim, pasal yang dinilai "selundupan" itu justru selaras dengan pertimbangan majelis hakim pada putusan MK.

"Kalau kita cermati dalam putusan MK tersebut, itu MK ada pertimbangan karena ada situasi kan orang juga selain kena pidana, di putusan yang sama juga kena sanksi dicabut hak politiknya untuk dicalonkan. Banyak perkara seperti itu," kata Hasyim kepada wartawan, Selasa (23/5/2023).

Baca juga: KPU Akan Cek Surat Pengunduran Diri Aldi Taher dari PBB

"Dalam hal ada orang pernah kena pidana, yang kemudian salah satu putusan pengadilannya itu menyatakan yang bersangkutan itu diberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politiknya untuk tidak dapat dicalonkan dalam kurun waktu tertentu, maka kemudian ketentuan (menunggu masa jeda bebas murni) yang lima tahun kan menjadi tidak berlaku," kata dia.

Pernyataan yang dimaksud Hasyim ada pada bagian pertimbangan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022, khususnya halaman 29 meski majelis hakim menggunakan istilah "pencabutan hak pilih", bukan "pencabutan hak politik".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com