JAKARTA, KOMPAS.com - Dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya pada 13-15 Mei 1998 kerusuhan pecah di Jakarta.
Kerusuhan dipicu oleh krisis moneter yang melanda Indonesia dan tak kunjung membaik.
Akibatnya, banyak perusahaan bangkrut, belasan bank dilikuidasi dan berbagai proyek besar dihentikan pembagunannya.
Menurut wartawan senior Harian Kompas yang saat itu bertugas di Istana Kepresidenan, Josep Osdar, sebelum kerusuhan pecah perekonomian Indonesia sudah jatuh.
"Ekonomi itu sudah jatuh seperti porak poranda. Sudah di supermarket-supermarket itu orang memborong. Orang-orang yang punya duit memborong untuk menyimpan makanan, minuman," kata Osdar dalam wawancara khusus dengan Kompas.com pada Senin (15/5/2023).
"Untuk supaya berjaga-jaga kalau nanti terjadi kerusuhan," ujarnya lagi.
Baca juga: Naskah Pidato 21 Mei 1998, Yusril Ungkap Alasan Soeharto Pilih “Berhenti” ketimbang “Mundur”
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.
Di tengah situasi yang kian tak menentu di Tanah Air, Presiden Soeharto bertolak ke Mesir untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G15.
Soeharto dan rombongan berangkat pada 9 Mei 1998. Sebelum berangkat, Pak Harto, sapaan akrab Soeharto memberikan keterangan pers kepada wartawan.
"Waktu mau berangkat itu, Pak Harto masih memberikan jumpa pers. Kalau tidak salah disampaikan soal keyakinan Pak Harto bahwa situasi akan aman-aman saja," kata Osdar.
Selain itu, Soeharto juga menyampaikan bahwa pemerintah berencana menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Setelah jumpa pers, Presiden Soeharto bertolak menuju Mesir.
Baca juga: Dari Tepi Sungai Nil, Soeharto Ungkap Keinginan Mundur sebagai Presiden
Menurut Osdar, selama di Mesir, situasi krisis dan kerusuhan di Indonesia menjadi sorotan.
Ia mengatakan, di restoran hotel tempat para wartawan peliput KTT G15 saat itu sempat dibicarakan apakah benar keluarga Soeharto kekayaannya nomor empat di seluruh dunia.
Sebab, bank dunia (World Bank) pernah merilis laporan bahwa korupsi APBN di Indonesia saat itu mencapai 20-30 persen.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.