Betapa sulitnya para orangtua di daerah 3T. Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk membeli pulsa agar anak-anaknya bisa mengikuti proses pendidikan secara daring. Sementara sinyal yang dicari-cari masih terkendala karena pembangunan menara BTS tidak kunjung selesai. Kini malah mangkrak karena nafsu serakah menterinya.
Dugaan kebocoran uang negara dalam korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4, dan 5 Bakti Kementerian Kominfo tahun 2020-2022 yang menjerat Johnny Gerald Plate disebut mencapai 80 persen. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut kasus korupsi BTS 4G bukan pidana biasa. Sebab, dari Rp 10 triliun yang dianggarkan, dugaan kerugian negara mencapai Rp 8,32 triliun.
Perincian kebocoran dan kebobrokan pelaksanaan proyek BTS 4G Kominfo dibeberkan pula oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Menurut Mahfud, sebanyak 985 tower BTS 4G, dari ribuan target tiang yang harusnya berhasil dibangun, mangkrak alias tidak berfungsi sama sekali.
Mahfud mengungkapkan, keberadaan hampir 1.000 tower mangkrak itu diketahui dengan presisi ketika Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan pemeriksaan melalui satelit. Dari keberadaan tiang-tiang yang dilacak satelit oleh BPKP, dari 985 tiang yang dijadikan sampel itu, semuanya dalam kondisi barang-barang mati.
Baca juga: Mahfud Sebut 985 Tower BTS 4G Kominfo Mangkrak
Rencananya, proyek BTS 4G Kominfo akan dikerjakan dalam kurun waktu 2020-2024. Jumlah total anggarannya mencapai Rp 28 triliun. Pemerintah kemudian menargetkan pembangunan 1.200 tower BTS 4G dalam jangka waktu 2020-2021 dengan anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 10 triliun.
Menurut Mahfud MD, sampai akhir 2021, keberadaan 1.200 tower BTS sama sekali kosong melompong. Tenggat waktu yang diperpanjang, mulai Desember 2021 hingga Maret 2023 dengan target 4.800 tower BTS 4G juga tinggal cerita (Kompas.com, 19/05/2023).
Kasus menggarong dana bejibun yang seharusnya dipergunakan untuk memintarkan generasi muda dan memajukan kehidupan rakyat di daerah 3T, menjadi modus elite-elite negeri ini menggelumbungkan dana bagi pribadi dan kelompoknya.
Saya teringat dengan percakapan dengan seorang penggiat media sosial beberapa waktu lalu mengenai korupsi di negeri ini. Konon, skala korupsi uang di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) itu masih tergolong kelas “nyamuk” di pentas pertandingan tinju. Sementara kalau mark up proyek itu masuk dalam kelas “capung”, sedangkan kalau korupsi dana non budgeter itu baru sekelas buaya.
Para penguasa sangat jenius mendesain dana non budgeter yang mudah dirampok secara berjemaah. Hebatnya lagi, aturan dan kelembagaan itu sengaja dibuat grey area tanpa ada pengawasan publik.
Di bidang telkomunikasi, ada yang namanya Universal Service Obligation (USO). USO ini berupa dana yang dipungut dari operator telekomunikasi sebesar 1,25 [ersen dari pendapatan kotor.
Untuk apa dana USO itu? Tentu saja dana USO ini dipergunakan untuk membangun akses telekomunikasi, terutama di wilayah-wilayah 3T yang tidak digarap operator karena tidak memiliki skala ekonomi dan bisnis yang menguntungkan.
Dana USO ini kelola Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), di bawah Kemenkominfo. Mengingat dana ini bukan APBN atau non budgeter, aturan penggunaan menjadi longgar.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipergunakan untuk proyek Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan. Jika anda mengunjungi berbagai daerah di Tanah Air, akan mudah menemukan rongsokan mobil-mobil layanan internet berkelir biru yang rongsok terbengkalai. Saya masih menemukan mobil bobrok itu di tepi jalan protokol di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Baca juga: Jika Triliunan Anggaran Proyek BTS 4G Bakti Kominfo Tidak Dikorupsi dan 4.800 Tower Terbangun...
Seperti mengulang kesalahan era SBY yang menjadikan proyek bertujuan mulia menjadi barang rongsokan dan dana raksasa hilang tanpa jelas, kini di era Jokowi kesalahan itu kembali berulang.
Tidak ada cara lain, kerugian itu harus dikembalikan oleh Johnny Gerald Plate dan pihak-pihak yang ikut menikmatinya. Dengan hitung-hitungan ala pelajar yang lancar mengakses internet di ruang-ruang publik, saya mencoba membuat hitung-hitungan kasar. Kalau kebutuhan bulanan setiap keluarga mapan bin makmur sebesar Rp 100 juta, maka setahun “hanya” dibutuhkan Rp 1,2 milyar.