Menolak konsep demokrasi “kebarat-baratan” hanya untuk membenarkan langkah politik yang ditempuhnya, padahal jalan demokrasi yang dipilihnya secara sadar dengan pelaksanan Pemilu dengan sistem pemungutan suara yang mengadopsi cara Barat, adalah sebuah ambigu.
Memadupadankan konsep the winner takes it all dengan konsep kesebelasan sepakbola yang mewakili negara dengan mengambil pemain dari sejumlah klub itupun juga “akal-akalan” kalimat politik dari Golkar.
Padahal kesebelasan nasional dibangun dari sejumlah pemain bertalenta yang berasal dari berbagai klub dan bertujuan selalu ingin menggapai kemenangan dalam setiap pertandingan yang diikuti.
Mental dan jiwa “kalah” tidak boleh dipunyai oleh setiap pemain. Pemain yang tersisih karena kalah bersaing harus unjuk gigih giat berlatih agar terpanggil kembali dalam seleksi pemain berikutnya.
Rivalitas antarpemain harus terus ditumbuhkan agar setiap pemain bisa meningkatkan kemampuan olah bolanya.
Menjadi kekuatan oposisi dan penyeimbang seperti halnya konsep demokrasi Barat harus terus dilembagakan agar ada kekuatan pengingat dan korektif terhadap rezim yang berkuasa.
Apa jadinya jika pihak yang kalah dengan alasan tidak boleh ada “the winner takes it all” bergabung dan diajak semuanya oleh pihak yang menang?
Justru esensi digelarnya Pemilu, Pilkada, dan Pilpres adalah kita ingin ada pihak yang dianggap terbaik untuk bisa memimpin kaum yang kalah.
Pihak pemenang harus menunaikan segala janji politiknya dan pihak yang kalah wajib terus mengingatkan janji politik pemenang. Mengoreksi, mengkritik dan memberi solusi bagi pihak pemenang.
Jika Golkar ingin selalu “menang”, tidak ada salahnya menerapkan langkah diversifikasi politik, misalnya mengubah target nomor satu menjadi nomor dua.
Jika produk yang dijajakan tidak mendapat sambutan positif di pasar, umumnya para produsen akan mengganti kemasan bahkan menarik produk yang selama ini dipasarkan. Boleh jadi konsumen tidak tertarik dan menghendaki produk lain yang memenuhi selera.
Golkar sebagai partai politik besar harus memiliki sikap teguh, berpendirian dan selalu konsekuen dengan jati dirinya.
Dia harus menjadi pemenang, bukan menjadi pecundang. Golkar harus punya sikap istiqomah. Golkar harus siap menjadi pemenang dan siap pula menjadi kekuatan kritis sebagai oposisi.
Golkar harus memberi literasi politik yang benar kepada masyarakat. Menjadi pihak yang menang dan pihak yang kalah dalam kontestasi politik adalah sama-sama bermartabat dalam demokrasi.
Jangan sampai Golkar mendapat stigma persis seperti orang “matre” yang selalu ingin bersama saat pasangannya “tajir melintir” dan mencampakkan pasangannya di saat hidup miskin tanpa harapan menjadi pra-sejahtera sekalipun.
Golkar tidak boleh takut “miskin” karena pilihan yang ditempuhnya.
"Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat, namun, yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri." - Joseph Schumpeter
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.