Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Golkar: Kalah Ogah Menanggung, Menang Ingin Ikut

Kompas.com - 01/05/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SADARKAH kita kalau pelukan yang paling tulus justru terlihat di bandara, terminal atau pelabuhan dibandingkan di acara pernikahan?

Masih yakinkah kita kalau doa yang paling berarti justru diberikan di rumah sakit ketimbang di perhelatan kesuksesan?

Kita paham memang kita jarang menerima bunga di saat masih hidup, tetapi lebih banyak mendapat bunga di saat kematian.

Kehadiran kita memang akan berarti di saat tiada daripada saat kita masih bersama.

Berlarik-larik kalimat “galau” di atas sepertinya bukan hanya milik anak muda yang putus cinta karena kalah saing dalam hal harta di mata calon mertua.

Kalimat penuh kegalauan seperti di atas juga pantas disematkan ke Partai Golkar dan Demokrat, usai menggelar pertemuan di kediaman Presiden RI ke-VI Soesilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Jawa Barat, Sabtu, 29 April 2023.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono memberikan keterangan pers seputar pertemuan mereka di kediaman Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Sabtu (29/4/2023).KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono memberikan keterangan pers seputar pertemuan mereka di kediaman Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Sabtu (29/4/2023).
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menegaskan Golkar dan Partai Demokrat sama-sama sepakat untuk tidak menerapkan konsep the winner takes it all pada pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia.

Artinya, Airlangga berpandangan partai-partai politik di Indonesia harus bisa bekerja sama dalam membangun Indonesia, siapa pun partai politik pemenang pemilunya.

Usai perhelatan antara elite-elite Golkar dan Demokrat, keduanya sepakat bahwa pemilu bukan the winner takes it all.

Bahkan seperti ingin membenarkan pendapatnya, Airlangga bersikukuh kita semua adalah bagian dari Indonesia raya. Bukan seperti Amerika Serikat di mana demokrasi yang kebarat-baratan itu demokrasi yang the winner takes it all.

Airlangga mengibaratkan membangun Indonesia seperti tim nasional sebuah cabang olahraga yang membela nama Indonesia.

Ia mengatakan, pemain-pemain yang masuk tim nasional biasanya tidak hanya berasal dari tim yang menjuarai kejuaraan di dalam negeri.

Dalam konteks politik, Airlangga menilai sistem tersebut bakal menciptakan pelaksanaan pemilu yang membahagiakan, bukan yang memecah belah bangsa.

Sekali lagi dengan jargon yang “merdu” Airlangga berharap perbedaan pandangan masyarakat hanya pada 14 Februari 2024, pada saat masyarakat memilih dan mencoblos, sesudah itu kita diharapkan kembali bersama-sama (Kompas.com, 29/04/2023).

Menjelang pelaksanaan Pilpres 2024, jika dicermati dengan saksama maka boleh jadi Partai Golkar adalah satu-satunya partai yang paling gencar dan masif melakukan manuver “zig-zag” ke kanan, ke kiri, bahkan menyundul ke atas dan ke bawah.

Usai memotori pendirian Koalisi Indonesia Bersatu dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar juga “genit” bermain mata dengan kubu yang selama ini “berseberangan” dengan koalisi pemerintahan Jokowi, yakni Demokrat dan PKS.

Bahkan seperti ingin “memanjangkan” napas politiknya, Golkar juga terlibat aktif dalam gagasan membangun koalisi besar bersama Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sebelumnya telah terlebih dahulu mendeklarasikan Koalisi Indonesia Raya.

Upaya Golkar bergerak ke sana kemari tidak terlepas dengan target yang dipasang tinggi partai berlambang beringin itu untuk menyodorkan nama Airlangga Hartarto sebagai calon presiden (Capres).

Di KIB, hingga pascadukungan pencapresan Ganjar Pranowo oleh PPP, Golkar masih “keukeuh” memasang tinggi nama Airlangga Hartarto sebagai Capres, sementara PAN dan PPP tidak menanggapi permintaan tersebut.

Di koalisi besar pun, Prabowo masih ragu menempatkan Airlangga sebagai Cawapres mengingat Gerindra terlanjur berkomitmen dengan PKB dalam menempatkan nama Muhaimin Iskandar sebagai Cawapresnya.

“Gerilya” terbaru Golkar dengan mendekati Koalisi Perubahan untuk Persatuan melalui Demokrat di Cikeas menjadi penegas adanya partai di pendukung pemerintah yang “balik badan” seperti yang disinyalir elite Demokrat sebelum pertemuan.

Pertemuan-demi pertemuan yang dilakukan Golkar ke berbagai koalisi sepertinya justru “mendegradasi” kebesaran Partai Golkar.

Golkar sepertinya tidak yakin diri. Padahal dengan kekuatan 85 kursi di DPR saat ini atau setara dengan 12,31 persen suara setidaknya “kelas” Golkar jauh di atas Demokrat (54 kursi), Nasdem yang 59 kursi atau PKS yang 50 kursi.

Ibarat klub sepak bola Chelsea di Liga Primer Inggris, Golkar begitu “tergagap-gagap” dalam persaingan di klasemen pemuncak liga pentas Capres-Cawapres.

Padahal baik Chelsea atau Golkar memiliki “bintang-bintang” lapangan yang moncer di berbagai survei. Misalnya, Ridwan Kamil yang masih menjabat Gubernur Jawa Barat.

Golkar sepertinya menyandang beban berat yang harus mencapreskan Airlangga Hartarto sebagai “harga mati” dalam proses transaksional kekuasaan tanpa berpijak pada suara rakyat pemilih yang terekam dalam berbagai hasil jajak pendapat.

Elektabilitas dan popularitas Airlangga Hartarto masih kalah bersaing dengan nama-nama lain sehingga pasar politik tidak memberi tempat bagi menteri koordinator bidang perekonomian tersebut.

Ogah kalah tetapi ingin dalam barisan pemenang

Dalih konsep the winner takse it all hanyalah digunakan Demokrat terlebih Golkar untuk memperbesar peluang andaikan kalah atau salah berkoalisi dalam pentas Pilpres tetapi tetap berharap ingin “diajak” oleh pemenang.

Pengalaman Golkar pascareformasi yang selalu menempatkan diri di panggung kekuasaan di berbagai rezim pemerintahan hanyalah menjadi negasi Golkar tidak siap kalah dan berada di luar ring kekuasaan.

Golkar tidak siap bahkan tidak terbiasa menjadi kelompok “kalah”, alih-alih menjadi kekuatan penyeimbang sebagai oposisi kritis.

Bagitu lucu dan menggelikan jika konsep demokrasi yang kita adopsi dari Barat, tetapi kita tidak mau mengakui konsep pemenang berhak atas piala kejuaraan dan yang kalah secara jujur dan sportif menerima kekalahan dengan legawa.

Justru pilihan koalisi itu dibangun dengan cita-cita untuk menang kontestasi politik dan memperjuangkan cita-cita perjuangan untuk memakmurkan kehidupan rakyat.

Koalisi sangat picik dan dikerdilkan jika dimaknai hanya untuk “bagi-bagi” kekuasaan jika menang dan ketika kalah dengan mudah “mengemis” untuk diajak dalam barisan pemenang.

Pengalaman Golkar yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih saat mendukung pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa di Pilpres 2014 bersama Gerindra, PAN, PPP, PKS dan Partai Bulan Bintang (PBB) seharusnya dijadikan prasasti politik yang tidak boleh terlupakan.

Demokrat di saat itu memilih “abstain” dalam mendukung poros koalisi yang ada. Tidak mendukung Prabowo – Hatta dan juga tidak berpihak ke Jokowi – Jusuf Kalla.

Segregasi politik pasca-Pilpres 2014 begitu tajam terjadi hingga terbawa-bawa ke parlemen. Keterwakilan parlemen terbelah antara blok koalisi pendukung Prabowo dan blok koalisi pendukung Jokowi.

Hanya saja, babak “ngambek” politik satu per satu partai di anggota Koalisi Merah Putih terakomodasi usai satu per satu partai diajak masuk dalam pemerintahan Jokowi jilid 1.

Porsi menteri yang diberikan rezim pemenang kepada partai yang “ngambek” sudah cukup menjadi pelipur lara, bahkan bisa mengubah haluan politik yang semula garang dan konfrotantif terhadap pihak yang menang.

Andai saja Golkar masih memiliki nakhoda berkaliber visioner seperti Akbar Tanjung tentu Golkar tidak dijadikan sekedar “pameo” atau pajangan dan pelengkap dari koalisi yang sudah ada.

Golkar di era Airlangga Hartarto justru mengulangi ketidaktepatan politik di era Aburizal Bakrie. Golkar yang mempunyai kapasitas mesin dengan silinder politik yang tinggi dipaksa untuk melintasi medan jalan yang mulus tanpa tantangan berarti.

Menolak konsep demokrasi “kebarat-baratan” hanya untuk membenarkan langkah politik yang ditempuhnya, padahal jalan demokrasi yang dipilihnya secara sadar dengan pelaksanan Pemilu dengan sistem pemungutan suara yang mengadopsi cara Barat, adalah sebuah ambigu.

Memadupadankan konsep the winner takes it all dengan konsep kesebelasan sepakbola yang mewakili negara dengan mengambil pemain dari sejumlah klub itupun juga “akal-akalan” kalimat politik dari Golkar.

Padahal kesebelasan nasional dibangun dari sejumlah pemain bertalenta yang berasal dari berbagai klub dan bertujuan selalu ingin menggapai kemenangan dalam setiap pertandingan yang diikuti.

Mental dan jiwa “kalah” tidak boleh dipunyai oleh setiap pemain. Pemain yang tersisih karena kalah bersaing harus unjuk gigih giat berlatih agar terpanggil kembali dalam seleksi pemain berikutnya.

Rivalitas antarpemain harus terus ditumbuhkan agar setiap pemain bisa meningkatkan kemampuan olah bolanya.

Terhormat menjadi oposisi

Menjadi kekuatan oposisi dan penyeimbang seperti halnya konsep demokrasi Barat harus terus dilembagakan agar ada kekuatan pengingat dan korektif terhadap rezim yang berkuasa.

Apa jadinya jika pihak yang kalah dengan alasan tidak boleh ada “the winner takes it all” bergabung dan diajak semuanya oleh pihak yang menang?

Justru esensi digelarnya Pemilu, Pilkada, dan Pilpres adalah kita ingin ada pihak yang dianggap terbaik untuk bisa memimpin kaum yang kalah.

Pihak pemenang harus menunaikan segala janji politiknya dan pihak yang kalah wajib terus mengingatkan janji politik pemenang. Mengoreksi, mengkritik dan memberi solusi bagi pihak pemenang.

Jika Golkar ingin selalu “menang”, tidak ada salahnya menerapkan langkah diversifikasi politik, misalnya mengubah target nomor satu menjadi nomor dua.

Jika produk yang dijajakan tidak mendapat sambutan positif di pasar, umumnya para produsen akan mengganti kemasan bahkan menarik produk yang selama ini dipasarkan. Boleh jadi konsumen tidak tertarik dan menghendaki produk lain yang memenuhi selera.

Golkar sebagai partai politik besar harus memiliki sikap teguh, berpendirian dan selalu konsekuen dengan jati dirinya.

Dia harus menjadi pemenang, bukan menjadi pecundang. Golkar harus punya sikap istiqomah. Golkar harus siap menjadi pemenang dan siap pula menjadi kekuatan kritis sebagai oposisi.

Golkar harus memberi literasi politik yang benar kepada masyarakat. Menjadi pihak yang menang dan pihak yang kalah dalam kontestasi politik adalah sama-sama bermartabat dalam demokrasi.

Jangan sampai Golkar mendapat stigma persis seperti orang “matre” yang selalu ingin bersama saat pasangannya “tajir melintir” dan mencampakkan pasangannya di saat hidup miskin tanpa harapan menjadi pra-sejahtera sekalipun.

Golkar tidak boleh takut “miskin” karena pilihan yang ditempuhnya.

"Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat, namun, yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri." - Joseph Schumpeter

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Besok, DKPP Sidang Lanjutan Dugaan Asusila Ketua KPU

Besok, DKPP Sidang Lanjutan Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
UU KIA, Ibu Sedang Jalani Cuti Melahirkan Tak Boleh Di-PHK dan Tetap Digaji

UU KIA, Ibu Sedang Jalani Cuti Melahirkan Tak Boleh Di-PHK dan Tetap Digaji

Nasional
Sahroni Sebut Surya Paloh Lelah oleh Pemberitaan Fakta Persidangan SYL

Sahroni Sebut Surya Paloh Lelah oleh Pemberitaan Fakta Persidangan SYL

Nasional
Jokowi: Persiapan 17 Agustusan di IKN Hampir Final, Enggak Ada Masalah

Jokowi: Persiapan 17 Agustusan di IKN Hampir Final, Enggak Ada Masalah

Nasional
Luhut: IKN Tidak Ada Masalah, yang Masalah Pimpinannya

Luhut: IKN Tidak Ada Masalah, yang Masalah Pimpinannya

Nasional
Gerindra Dorong Ridwan Kamil Maju Pilkada Jakarta, Strategi Kuat di Jakarta dan Menang di Jabar

Gerindra Dorong Ridwan Kamil Maju Pilkada Jakarta, Strategi Kuat di Jakarta dan Menang di Jabar

Nasional
Hakim Cecar Sahroni soal Sumbangan SYL Rp 860 Juta untuk Partai Nasdem dari Anggaran Kementan

Hakim Cecar Sahroni soal Sumbangan SYL Rp 860 Juta untuk Partai Nasdem dari Anggaran Kementan

Nasional
Amien Rais Kunjungi MPR, Bamsoet: Sebenarnya Pelanggaran, Harusnya Kita yang Berkunjung

Amien Rais Kunjungi MPR, Bamsoet: Sebenarnya Pelanggaran, Harusnya Kita yang Berkunjung

Nasional
Bendum Nasdem Ahmad Sahroni Mengaku Baru Tahu Anak SYL Anggota DPR

Bendum Nasdem Ahmad Sahroni Mengaku Baru Tahu Anak SYL Anggota DPR

Nasional
Kapan Cuti sampai 6 Bulan Bagi Ibu Melahirkan Berlaku?

Kapan Cuti sampai 6 Bulan Bagi Ibu Melahirkan Berlaku?

Nasional
Kuasa Hukum Pegi Akan Datangi Bareskrim, Ajukan Gelar Perkara Khusus

Kuasa Hukum Pegi Akan Datangi Bareskrim, Ajukan Gelar Perkara Khusus

Nasional
KPK Bantah Gencar Cari Harun Masiku karena Masa Jabatan Pimpinan Akan Habis

KPK Bantah Gencar Cari Harun Masiku karena Masa Jabatan Pimpinan Akan Habis

Nasional
Jadi Saksi di Sidang SYL, Sahroni Dicecar soal Sumbangan ke Partai Nasdem

Jadi Saksi di Sidang SYL, Sahroni Dicecar soal Sumbangan ke Partai Nasdem

Nasional
Beri Tugas Baru untuk Bambang Susantono, Jokowi: Pengalaman Beliau di Internasional Kita Manfaatkan

Beri Tugas Baru untuk Bambang Susantono, Jokowi: Pengalaman Beliau di Internasional Kita Manfaatkan

Nasional
Jokowi Bandingkan Kualitas Udara Berbagai Kota Dunia, Jakarta Paling Buruk

Jokowi Bandingkan Kualitas Udara Berbagai Kota Dunia, Jakarta Paling Buruk

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com