PKS tentu tidak ingin Anies Baswedan selamanya akan “jomblo” dan ke depannya akan merugikan kepentingan PKS sendiri.
Pasca-pencapresan Ganjar oleh PDI-P, “puzzle-puzzle” partai dalam beragam koalisi pasti akan berubah.
Jika Koalisi Perubahan untuk Perbaikan yang mendukung pencapresan Anies Baswedan diperkirakan akan semakin solid karena tinggal menetapkan Cawapres, maka kondisi seperti ini tidak terjadi di Koalisi Indonesia Bersatu.
Golkar yang tidak memiliki DNA “oposisi” serta PPP dan PAN yang cenderung mencari “aman” karena menyadari beratnya raihan suara di Pemilu 2024 mendatang, pasti akan memilih jalan pragmatis.
Ketiga partai tersebut akan menempuh jalan kemenangan dengan melabuhkan suaranya kepada capres yang paling potensial.
Golkar, PPP, dan PAN juga ingin memastikan akomodasi politik berupa kursi di kabinet andai capres yang disokongnya menang.
Beberapa kader PPP maupun PAN secara terbuka mendukung Ganjar, bahkan Rapat Kerja Nasional PAN di Semarang beberapa waktu lalu, sempat menggadang-gadang pasangan Ganjar dengan Erick Thohir.
Sementara Koalisi Indonesia Raya yang digagas Gerindra dan PKB juga “idem dito” seperti halnya Koalisi Perubahan untuk Perbaikan.
Koalisi Gerindra dan PKB hanya sebatas menyepakati penunjukan Prabowo sebagai capres dan “tidak” untuk Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres.
Keinginan elite-elite Gerindra ternyata tidak linear dengan menggebu-gebunya harapan internal PKB yang bertekad menyodorkan nama Cak Imin sebagai cawapres.
Kalangan “dalam” Gerindra malah lebih “sreg” jika nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang digaet Prabowo mengingat pengalaman teritorial dan birokrasi Khofifah lebih komplet dibandingkan Cak Imin.
Beberapa kali Prabowo menemui Khofifah termasuk elite-elite Gerindra yang menjumpai Gubernur Khofifah di Surabaya.
Pengalaman “tempur” Khofifah yang teruji di palagan Pilgub Jawa Timur yang “berdarah-darah” sesuai dengan karakter Prabowo.
Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Nadhatul Ulama empat periode, potensi ceruk suara Khofifah tidak diragukan lagi.
Gagasan elite-elite Koalisi Indonesia Bersatu dan Koalisi Indonesia Raya untuk melebur menjadi koalisi besar kini juga menjadi tanya tanya usai pencapresan Ganjar.
Sebelum Ganjar diumumkan sebagai capres dari PDI-P, silih berganti elite-elite partai dari PKB, Golkar, PAN, Perindo, PSI, dan PBB “menyambangi” Prabowo Subianto.
Dengan pencapresan Ganjar bisa jadi gagasan koalisi besar akan menjadi koalisi “langsing”. Ego antarpartai yang sulit dikompromikan menjadi penyebab koalisi ini hanya akan bernasib seumur jagung.
Pragmatisme politik semakin kental dengan meluruhkan pada capres yang potensial menang.
Jika Gerindra gigih memosisikan Prabowo Subianto sebagai capres, tidak ketinggalan Airlangga Hartarto juga “ngotot” ingin dipasang sebagai kandidat RI-1.