SAAT ini kegaduhan politik mulai terasa memasuki event kontestasi politik yang kurang dari setahun lagi. Kegaduhan ini berpotensi besar akan menguras energi bangsa.
Padahal, butuh kondusifitas dan kebersamaan dalam mengatasi beragam permasalahan bangsa. Kita juga belum sepenuhnya keluar dari pandemi Covid-19.
Pemilu akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 dan Pilkada serentak pada 27 November 2024. Namun, mekanisme rekrutmen politik yang ada lebih banyak melahirkan pemimpin berkarakter politisi, daripada negarawan.
Masih terlihat jelas gambaran buram dinamika Politik Indonesia, merujuk formula komunikasi yang dirumuskan Harold Laswell, yaitu: Who gets What, When, and How (3 W + 1 H), politik adalah siapa, mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya.
Realitas Indonesia pascareformasi memperlihatkan pemilihan umum legislatif dan eksekutif dari pusat hingga daerah yang pernah diselenggarakan sebagai perwujudan demokrasi masih langka melahirkan pemimpin yang negarawan untuk memimpin masyarakat dan bangsa menghadapi masa depan.
Indonesia hingga saat ini miskin pemimpin yang berjiwa negarawan, tapi surplus politisi.
Meski mekanisme demokrasi belum menghasilkan pemimpin yang diharapkan, setidaknya sedikit lebih baik daripada tidak ada mekanisme demokrasi.
Semoga seiring meningkatnya kualitas literasi politik masyarakat kedepan, diharapkan akan melahirkan politisi negarawan yang berkualitas.
Praktik demokrasi Indonesia pascareformasi telah membuka ruang-ruang ekspresi, partisipasi dan konstestasi politik yang luas bagi masyarakat. Kontestasi politik yang juga menumbuh suburkan politik pencitraan.
Saat ini komunikasi politik bagaikan “sebuah salon pencitraan” yang mengurus make up, bedak dan gincu yang digunakan untuk merebut posisi kepemimpinan politik. Dan semuanya membutuhkan biaya politik yang besar.
Maraknya “politisi salon”, merupakan cermin menguatnya kerja-kerja sistem kapitalisme yang sejalan dengan demokrasi liberal.
Celakanya, sistem “demokrasi-kapitalistik” di negeri kita berjalan di tengah langkanya etika dan norma politik.
Sehingga aktualitas demokrasi politik Indonesia dirayakan dengan ekspresi dangkal dan saling menyerang, bagaikan pesta keramaian yang miskin substansi dan komitmen.
Dinamika politik kita dipadati tontonan hingar-bingar, bahkan agama sering dijadikan komodifikasi yang efektif dalam meningkatkan citra aktornya.
Ekspresi demokrasi dan kebangsaan yang dangkal dan menyerang seperti itulah yang dulu dikhawatirkan oleh Bung Karno.
Bung Karno menulis di Suluh Indonesia (12 Agustus 1928), “Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-baratan, suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi”.
Lebih lanjut Bung Karno menulis, “Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat kita hidup dalam roh.”
Itulah sebabnya, mengapa para pendiri bangsa ini menyepakati prinsip Ketuhanan sebagai salah satu filosofi dasar kenegaraan. Nilai luhur agama sejatinya harus melandasi dan mewarnai etika politik.
Sejatinya berpolitik tidaklah senaif dan sedangkal yang dipersepsikan dan diaktualisasikan dalam realitas keseharian oleh sebagian besar politisi kita.
Politik sejatinya memiliki keluhuran dan nilai yang menuntun pada kedalaman mengelola tata kehidupan bersama berdasarkan prinsip etika, keadilan, toleransi, kebersamaan, altruisme. Juga politik keberpihakan demi mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan kelompok dan pendukung partai pemenang.
Namun saat ini, perkembangan kesadaran politik kita, sepertinya baru sampai tahap mengagumi kemasan, seperti foto, kata-kata, dan tampilan yang meyakinkan, minim komitmen dan pemikiran terbaik tentang bangsa yang lebih subtantif.
Karena itu, dalam kontestasi politik, orang yang memiliki keunggulan buatan dan modal besar yang seringkali menang dalam pertarungan politik.
Sementara yang kompeten dan memiliki komitmen kuat membangun bangsa, umumnya akan kalah bersaing.
Maka menjadi tanggung jawab kita semua untuk membumikan etika politik agar politik kita lebih baik dan bermartabat.
Ada beberapa perspektif pemikiran yang saya tawarkan agar konstestasi politik mampu melahirkan politisi dan pemimpin yang diharapkan:
Pertama, membumikan literasi politik sebagai bauran pengetahuan, skill dan sikap politik. Literasi politik sebagai gerakan dari civil society untuk “melek politik”.
Literasi politik dimaksudkan agar masyarakat mampu membaca kamuflase politik dari aktor politik dalam meraih jabatan politik dengan berbagai cara.
Kedepan diharapkan masyarakat sudah semakin ”melek” politik. Walaupun diberi uang atau sogokan dalam berbagai bentuk, masyarakat relatif tetap memilih kandidat sesuai dengan keinginannya.
Kedua, pentingnya membumikan spirit negarawan seorang politisi, sejatinya adalah seorang negarawan.
Thomas Jefferson memiliki de?nisi yang sangat baik mengenai politikus dan negarawan. Politikus biasanya hanya memikirkan pemilihan yang akan datang, sementara negarawan memikirkan generasi yang akan datang.
Senada dengan hal tersebut dalam pandangan Aristoteles, politisi yang bermartabat adalah politisi yang berupaya mengubah rakyat dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup yang baik” (good life).
Ketiga, pentingnya asketisme politik sebagai laku para aktor. Asketisme politik dipahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak.
Berpolitik tidak hanya untuk mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Artinya, asketisme politik diarahkan untuk meningkatkan “kesalehan” berpolitik baik di tingkat pribadi maupun institusional.
Keempat, pentingnya penerapan komunikasi politik yang beretika mencakup semua elemen komunikasi, yaitu aktor (para politikus), pesan, media, dan masyarakat.
Kelima, pemurnian niat. Kalau politisi senantiasa menyibukkan dirinya dengan pertanyaan 3 W + 1 H, maka seorang negarawan cukup pada satu hal yang penting, yaitu WHY, pertanyaan yang berfokus ke dalam.
Seorang politisi dan calon politisi akan melakukan pertanyaan Why secara terus-menerus terkait dengan pemurniat niat dan motivasi terbaiknya untuk menjadi politisi.
Hendricks dan Ludeman, dalam bukunya berjudul The Power of Intention memberi pesan kepada seorang pemimpin untuk melakukan pemurnian niat. Tanpa niat yang benar, seorang pemimpin akan berkubang dalam kesulitan bahkan kehinaan.
Saya kira, hal yang sama perlu dimiliki oleh seorang calon politisi yang negarawan untuk senantiasa memiliki niat dan komiten terbaik bagi bangsa dan negaranya. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.