DAGING cincang, atau Mincemeat, adalah salah satu menu favorit saya di masa lalu saat makan di rumah makan Padang. Biasanya dipisah dari piring nasi yang disajikan hangat alias dihadirkan dengan piring berukuran kecil secara terpisah.
Setiap menyantap menu cincang, saya selalu tersenyum kecil mengingat namanya, mirip kode taktik sekutu merujuk literatur yang pernah saya baca. Nama itu mirip kode operasi pasukan sekutu, Inggris dan Amerika Serikat pada Perang Dunia kedua tahun 1943, yang membuat Hitler tertipu dan harus gigit jari.
Operasi sederhana bernama mincemeat operation tersebut menjadi salah satu game changer dalam perang dunia kedua. Jerman terpaksa memperkecil daerah kekuasaannya di Italia, dan El Duce, yaitu Benito Amilcare Andrea Mussolini (Benito Mussolini) diturunkan oleh Dewan Besar Fasis.
Operasi Mincemeat adalah operasi tipu daya atau pengalihan, hanya dengan meletakkan sekoper dokumen operasi palsu di tubuh sesosok mayat gelandangan yang dilekatkan identitas angkatan laut Inggris, dengan maksud agar ditemukan oleh tentara Jerman. Isinya berkisah tentang rencana invasi sekutu di Yunani dan Sardinia, Italia.
Dokumen tersebut membuat Hitler super yakin, bahwa Sisilia bukanlah target masuk pasukan sekutu di tanah Italia di saat D-Day, sehingga Jerman tidak melakukan penguatan pertahanan dan penambahan pasukan di sana secara signifikan.
Padahal, sebelumnya, seorang Jenderal Jerman, Jenderal Albert Kesselring; pemimpin Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) dan Komandan pasukan Jerman di Italia selama masa Perang Dunia II, sangat meyakini bahwa Sisilia adalah target pendaratan pasukan Sekutu. Namun pandangannya justru di kesampingkan oleh sang Fuhrer.
Operasi sederhana tersebut mengubah alur peperangan, yang akhirnya membuat pantai Messina, menjadi Dunkirk-nya Jerman (evakuasi 100.000 pasukan Jerman dan Italia) di bawah bayang-bayang pesawat tempur Amerika Serikat dan Inggris.
Evakuasi tersebut atas inisiatif dan kecemerlangan analisa Jenderal Kesselring, karena Hitler dianggap ragu-ragu.
Ya, itulah operasi daging cincang, yang melenakan Hitler layaknya menu cincang yang melenakan lidah saya di Rumah Makan Padang itu.
Logika serupa acap kali dipakai oleh para pembesar politik kekuasaan, tidak terlepas yang terjadi di negeri kita, dengan mencoba memberi umpan-umpan politik kontroversial dengan harapan agar dimakan oleh lawan.
Sayangnya, ada yang berusaha memberi umpan, tapi ternyata tak dimakan oleh lawannya. Ujuk-ujuk umpan tersebut malah jadi senjata makan tuan, karena kurang mendalamnya analisa terhadap kemungkinan-kemungkinan reaksi lawan atas umpan tersebut.
Itulah salah satu kemungkinan yang terjadi dengan polemik rencana kehadiran tim nasional Israel pada laga Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Umpan bermula dari sebuah surat penolakan oleh seorang gubernur di mana proses Drawing Piala Dunia U-20 rencananya akan dilangsungkan.
Isi surat tersebut kemudian disambung oleh pernyataan seorang gubernur lainnya, yang kebetulan berasal dari partai yang sama dengan gubernur pertama. Sehabis itu, umpan bergulir secara dinamis.
Pihak lawan, yang selama ini sesungguhnya paling lantang bersuara soal anti-Israel, nampaknya ragu-ragu untuk menceburkan diri ke dalam isu tersebut, alias meragukan umpan yang dilepaskan kedua gubernur tersebut.
Boleh jadi mereka merasa "suprised" karena umpan yang dilemparkan bukanlah umpan yang biasa dipakai oleh pengumpan.
Selama ini, isu Anti-Israel jarang terdengar dari mulut kedua gubernur, begitu juga dengan partai dari mana mereka berasal. Karena itu, lawan pun merasa ada yang aneh. Mengapa ujuk-ujuk "tone" politik mereka berubah?
Tentu tetap ada beberapa partai beraliran Islam yang ikut memakan umpan. Namun karena umpan awal tidak berasal dari mereka, maka imbas politik tidak terlalu mengganggu partai mereka, saat umpan ternyata berbalik arah kepada pemberi umpan.
Nampaknya ada beberapa miskalkulasi yang dilakukan pengumpan, jika kita membandingkannya dengan operasi daging cincang di atas.
Pertama, pengumpan menyalahi kodratnya sebagai ruling party. Di manapun di dunia ini, ruling party harus sejalan dan mendukung semua program pemerintah.
Nah, saat pengumpan yang notabene adalah ruling party melempar umpan yang ternyata berniat meledakkan rencana strategis pemerintah, situasinya kemudian menjadi berbeda.
Hal tersebut memperkuat kecurigaan publik bahwa punggawa Istana, Jokowi, belum benar-benar satu perahu dengan petinggi partai yang mengantarkannya ke Istana, terutama terkait pemilihan tahun 2024 nanti.