Jadi tak salah juga ada yang berasumsi bahwa Jokowi sedang diisolasi, atau bahkan diserang oleh partainya sendiri, karena posisi Jokowi saat ini sudah masuk kategori "lame duck" .
Namun Jokowi nampaknya tak selemah yang dibayangkan. Munculnya wacana Koalisi Besar diyakini adalah salah satu upaya Jokowi untuk melakukan perlawanan terhadap segala upaya pelemahan posisi politiknya.
Wacana koalisi besar ini sangat berpeluang membahayakan posisi ruling party yang dipersepsi sedang "menyerang " Jokowi dengan narasi "Anti-Israel" di atas.
Pasalnya, koalisi besar akan sangat berpotensi mengisolasi ruling party dari elite-elite partai lainnya, sementara ruling party bukanlah kekuatan mayoritas di dalam konfigurasi demokrasi elektoral Indonesia.
Karena itu, strategi isolasi ini bisa menjadi ancaman berbahaya bagi ruling party, jika terus-menerus menyudutkan Jokowi dan Istana.
Kedua, pengumpan nampaknya gagal mendeteksi kemungkinan reaksi dingin dari pihak lawan, terutama calon lawan potensial pengumpan di laga pemilihan tahun 2024 nanti.
Calon presiden yang digadang-gadang didukung oleh komunitas Islam garis keras memilih bergeming, alias tidak memakan umpan.
Memang ada penolakan Israel dari beberapa komunitas Islam garis keras, tapi penolakan tersebut tidak mampu bertransformasi menjadi isu mainstream.
Karena setelah pembatalan event oleh FIFA terjadi, isu penolakan justru tertimpa oleh narasi-narasi kekecewaan.
Ketiga, pengumpan juga gagal mendeteksi kemungkinan Istana yang mereka dukung selama ini akan melakukan upaya "fight back".
Dengan umpan datang dari dua gubernur yang merupakan dua kader besar di dalam partai pengumpan, pengumpan nampaknya berharap Istana akan mengikuti irama umpan karena umpannya berasal dari partai besar yang mendukung Istana selama ini.
Pada awalnya, Istana sempat memberikan reaksi positif dengan mengikuti alur cerita yang dimainkan pengumpan.
Setelah dua penolakan besar muncul dari partai pengumpan, tim penyelenggaran Piala Dunia U-20 membatalkan acara drawing di Bali, sebuah sinyal positif bagi pengumpan.
Namun nampaknya Istana terus melakukan "assessment" dan berakhir dengan kesimpulan baru bahwa urusan Piala Dunia U-20 adalah urusan bangsa, sementara urusan umpan mengumpan politik adalah urusan kelompok. Walhasil, Istana lebih memilih menyelamatkan muka bangsa Indonesia.
Sayang seribu sayang, upaya penyelamatan terlambat. Ketua PSSI yang diutus bertemu dengan dedengkot FIFA tidak membuahkan hasil positif. Keputusan pembatalan telah dilakukan.
Namun demikian, Istana cukup terselamatkan dengan upaya gagal tersebut karena setidaknya pemerintah masih dipandang telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah pembatalan. Sementara kemarahan publik justru berbalik arah ke arah darimana umpan berasal.
Upaya Jokowi untuk menyelamatkan status tuan rumah dalam Piala Dunia U-20 sangat bisa dipahami, bahkan perlu dipuji. Ada saatnya urusan politik dinomorduakan saat berhadapan dengan urusan negara bangsa.
Artinya, ada kalanya urusan politik tak sepenuhnya diserahkan kepada politisi, jika taruhannya ternyata adalah kepentingan bangsa.
“Politics is too serious a matter to be left to the politicians,” kata negarawan asal Perancis, Charles de Gaulle yang populer dengan nama Jenderal de Gaulle.
Mengapa demikian? Karena, seperti kata politisi yang juga seorang akademisi asal lnggris, Sir Ernest Benn, "Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies".
Nah, di saat seperti inilah orang seperti Jokowi turun tangan atas nama kepentingan bangsa dan negara.
Dan keempat, umpan atau taruhan yang diceburkan sesungguhnya terlalu besar. Menceburkan seorang gubernur yang berpotensi besar menjadi calon presiden karena tingkat elektabilitasnya tinggi, terlalu berisiko bagi partai pengumpan. Karena calon alternatif dari partai pengumpan tidak memiliki elektabilitas yang tinggi.