Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan Pencucian Uang Rafael Alun Belum Diusut, Pakar: KPK Kurang "Pede"

Kompas.com - 05/04/2023, 18:49 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai kurang percaya diri dalam menyidik dugaan korupsi mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo, karena memilih mencari bukti dugaan gratifikasi ketimbang mengusut dugaan pencucian uang.

"KPK sudah mengambil langkah yang agak lambat, yaitu tidak pede (percaya diri) bahwa menggunakan TPPU (tindak pidana pencucian uang) dulu, tapi mencari gratifikasinya dulu, ya memang kena, tapi ada satu hal yang bakal hilang,” kata pakar TPPU Yenti Garnasih seperti dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Selasa (4/4/2023).

Yenti menilai seharusnya penyidik KPK tidak perlu ragu mengusut terlebih dulu dugaan pencucian uang yang disangkakan kepada Rafael dan kemudian menguak dugaan gratifikasinya.

Dia berharap penyidik KPK segera menelusuri aliran dana sebesar 90.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 1,3 miliar yang diduga hasil gratifikasi dari Rafael.

Baca juga: Sejumlah Artis Disebut-sebut Terlibat TPPU Rafael Alun, Pimpinan Komisi III Minta KPK Usut Tuntas

“Jadi sekarang harus lebih cepat lagi, yaitu segera TPPU-nya, Rp1,3 M tadi, yang menurut KPK sudah ada, itu di-follow, diikuti, ke mana uangnya. Itu kan ada pergerakan dari rekening korannya, itu harus di-TPPU, siapa pun yang menerima itu adalah pelaku pasifnya,” ujar Yenti.

Yenti menyampaikan jika dugaan pencucian uang yang dilakukan Rafael dari dugaan gratifikasi terbukti, maka hukuman yang diterima bisa sangat berat.

“TPPU lebih tinggi hukumannya itu 20 tahun, selain juga semua uang-uangnya kita sita dan dirampas kalau nanti terbukti," ucap Yenti.

Sebelumnya diberitakan, Rafael disangkakan menerima gratifikasi sebesar 90.000 dolar Amerika Serikat melalui perusahaan jasa konsultan pajak miliknya, PT Artha Mega Ekadhana (AME).

Baca juga: Riwayat Rafael Alun, Terima Gratifikasi 90.000 Dollar AS, Dipenjara seperti Anaknya

Caranya adalah Rafael menggunakan kewenangannya sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sejak 2005 untuk mengarahkan wajib pajak bermasalah buat menjadi klien PT AME. Diduga melalui perusahaan itu terjadi kongkalikong antara wajib pajak bermasalah dan Rafael.

Melalui cara itulah Rafael diduga mendapatkan gratifikasi.

Dugaan kekayaan tidak wajar Rafael terungkap setelah salah satu anaknya, Mario Dandy Satrio, menjadi tersangka kasus penganiayaan D.

Kasus harta tak wajar Rafael itu juga merembet kepada terungkapnya dugaan penyimpangan lain di Ditjen Pajak, Bea Cukai, dan Kementerian Keuangan.

Baca juga: Pengakuan Ayah Shane Saat Chat Rafael Alun Bahas Kasus Mario: Hanya Dibaca, Tak Direspons

Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan salah satu alasan mengapa mereka memutuskan menahan Rafael adalah khawatir tersangka melarikan diri karena kapasitas dan kemampuannya.

Dalam kasus itu, KPK menyita safe deposit box Rafael yang berisi uang senilai Rp 32,2 miliar dalam bentuk mata uang Euro, dollar AS, dan dollar Singapura.

KPK juga menyita puluhan tas bermerk, 29 perhiasan, 1 sepeda, 2 dompet, serta 1 ikat pinggang dan sebuah jam tangan dari hasil penggeledahan di rumah Rafael di Perumahan Simprug Golf, Jakarta Selatan.

Saat ini Rafael ditahan di rumah tahanan KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan.

Baca juga: BERITA FOTO: Rafael Alun Diduga Aktif Giring Wajib Pajak Bermasalah Konsul ke Perusahaannya

Dalam perkara ini, Rafael disangka melanggar Pasal l 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com