POLEMIK transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 349 triliun yang dialamatkan ke Kementerian Keuangan (kemenkeu) masih terus bergulir.
Ada ketidaksingkronan data antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan sekaligus Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU).
Dalam Rapat Kerja di Komisi XI DPR RI pada Senin (27/3), Menkeu terbaik Se-Asia Timur dan Pasific tahun 2020 ini mengklarifikasi sejumlah nilai transaksi yang disuplai oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dari angka Rp 349 triliun yang telah beredar luas di publik, yang benar-benar terkait dengan pegawai di Kemenkeu hanya berjumlah Rp 3,3 triliun.
Sementara, Mahfud dan PPATK dalam rapat dengan Komisi III DPR RI menyatakan, jika transaksi keuangan mencurigakan terkait pegawai Kemenkeu terdiri dari dua kategori.
Kategori pertama berjumlah Rp 35 triliun yang melibatkan 461 entitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenkeu. Sementara kategori kedua berjumlah Rp 53 triliun yang melibatkan ASN Kemenkeu dan pihak lain.
Terlepas dari adanya masalah koordinasi antara Mahfud selaku Ketua Komite TPPU dan Sri Mulyani sebagai anggota, apa yang belakangan terjadi sebenarnya telah membuka mata kita bahwa pemberantasan tindak pidana pencucian uang masih menemui jalan terjal.
Hal ini juga terkonfirmasi dari sejumlah laporan hasil analisis dan hasil pemerikaan PPATK yang dikirimkan ke penegak hukum, baru 30 persen yang ditindaklanjuti (Kompas, 29/09/21).
Problem tersebut jika dicermati lebih jauh sebenarnya masih berkutat pada soal paradigma dan kapasitas aparat.
Ikhwal paradigma aparat penegak hukum, masih seputar perlu atau tidaknya pembuktian tindak pidana asal TPPU yang sudah mengemuka semenjak rezim anti-pencucian uang pertama kali diterapkan di Indonesia tahun 2002.
Hingga sekarang, paradigma tersebut masih sama: pembuktian tindak pidana pencucian uang harus diikuti dengan pembuktian tindak pidana asalnya (predicate crime).
Mirisnya lagi, lembaga peradilan masih berpikiran serupa. Teranyar, misalnya, dapat disimak pada kasus korupsi Simulator SIM.
Majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) memerintahkan agar aset hasil sitaan penyidik hanya bisa digunakan untuk memenuhi pembayaran uang pengganti, sementara sisanya harus dikembalikan kepada terpidana.
Padahal, selain didakwa korupsi, Djoko Susilo juga didakwa dengan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan semenjak tahun 2003. Jauh sebelum kasus korupsi simulator SIM terungkap pada 2012.
Namun memang tidak bisa dipastikan tindak pidana asalnya merupakan korupsi atau bukan.