JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana koalisi besar partai politik (parpol) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 belakangan ini mencuat.
Wacana ini muncul setelah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berbicara kemungkinan terciptanya koalisi besar pada pesta demokrasi tahun depan.
Skema koalisi besar diprediksi terjadi apabila sebuah koalisi bergabung dengan koalisi parpol lain sehingga tercipta koalisi 'jumbo'.
Dalam menghadapi Pilpres tahun depan, hingga kini terdapat tiga koalisi yang sudah dibangun.
Ketiga koalisi tersebut mencakup, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diisi oleh Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunn (PPP).
Lalu Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang terdiri atas Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Terakhir, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang diprakarsai oleh Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara, PDI Perjuangan sejauh ini belum menentukan sikapnya mengenai masa depan koalisi di Pilpres 2024.
Sementara itu, Airlangga menilai koalisi besar yang terbentuk dalam kancah politik biasanya akan memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Hal ini disampaikan Airlangga ketika bertandang ke Nasdem Tower di Gondangdia, Jakarta, Sabtu (25/3/2023), seusai buka puasa bersama.
Pernyataan Airlangga tersebut sekaligus menanggapi soal ada atau tidaknya kemungkinan partai-partai politik membuat koalisi besar pada pilpres tahun depan.
Baca juga: Airlangga Hadir di Bukber Nasdem, Opsi Jadi Cawapres Anies Terbuka?
Namun Airlangga belum dapat memastikan koalisi besar tersebut akan terbentuk atau tidak.
"Koalisi besar di mana-mana menguntungkan Indonesia. Jadi kita tunggu tanggal mainnya," kata Airlangga.
Airlangga sendiri belum memperlihatkan tanda-tanda Golkar bersama KIB-nya akan bergabung dengan KPP.
Airlangga juga tidak banyak berkomentar ketika ditanya mengenai ada atau tidaknya ajakan dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh untuk bergabung ke dalam KPP.
Ia hanya menyampaikan, kehadirannya ke Nasdem Tower merupakan bentuk persahabatan yang sudah lama terjalin dengan Surya Paloh.
Baca juga: Lewat Pantun, PKS Beri Sinyal Ajak Partai Golkar Gabung Koalisi Perubahan
Surya Paloh tak lain adalah senior Airlangga ketika masih bergabung di Golkar dengan jabatan Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar.
"Ya kalau koalisi sama-sama punya koalisi. Tentu dengan koalisi yang sama komunikasi menjadi hal yang penting di dalam politik," tutur dia.
Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia mengakui bahwa pertemuan Airlangga dan Surya Paloh tersebut turut membahas kemungkinan adanya koalisi besar.
"(Pertemuan) memperdalam kemungkinan-kemungkinan untuk bisa melakukan kerja sama, itu saja," kata Doli ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/3/2023).
Doli menyatakan, pertemuan dengan Surya Paloh tentu tak dilakukan sekali.
Menurutnya, untuk membangun kerja sama, diperlukan pertemuan sebanyak mungkin dengan tokoh-tokoh parpol.
"Enggak bisa sekali ketemu. Banyak yang diperbincangkan, didiskusikan untuk menyamakan visi dan platform itu. Jadi diskusinya panjang dan bisa berkali-kali," jelasnya.
Dalam pemerintahan era Presiden Joko Widodo sejak 2014, Golkar dapat dikatakan tidak mempunyai pengalaman yang panjang dalam beroposisi.
Pada Pilpres 2019, misalnya. Golkar memilih menyatu dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang diisi oleh PDI-P, Nasdem, PKB, PPP, Partai Hanura, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
KIM ketika itu mengusung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin yang berhasil memenangkan Pilpres 2019.
Baca juga: Golkar Akui Pertemuan Airlangga dan Surya Paloh Perdalam Kemungkinan Koalisi Besar
Pada Pilpres 2014, Golkar ketika memilih berseberangan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi dan Jusuf Kalla.
Kala itu, Golkar memilih berlabuh ke Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan Partai Bulan Bintang (PBB), yang mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Setelah Pilpres 2014 rampung dengan kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla, Golkar kala itu tak begitu lama dalam barisan oposisi yang digawangi oleh KMP.
Sebab, dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar pada 25 Januari 2016, Partai Golkar yang ketika itu di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie resmi menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Hal ini diperkuat dengan keputusan hasil sidang Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar pada 16 Mei 2016 yang memutuskan partai berlambang pohon beringin itu keluar dari KMP.
Peneliti Lingkar Survey Indonesia (LSI) Ardian Sopa ketika itu menilai, hasil sidang Munaslub Golkar yang memutuskan keluar dari KMP adalah keputusan tepat.
"Keputusan Golkar menjadi bagian dari pemerintah adalah keputusan tepat dari pada tetap berada di oposisi," ujar Ardian di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Jakarta Timur, (18/5/2016).
Menurut Ardian, sejak awal kemunculan dan perjalanannya, Partai Golkar selalu mendukung pemerintah.
Keputusan menjadi oposisi setelah pemilu 2014 justru menimbulkan konflik internal.
"Karena di dalamnya sendiri masih banyak orang-orang yang ingin mendukung pemerintah," kata Ardian.
(Penulis: Nicholas Ryan Aditya, Fika Nurul Ulya, Nabilla Tashandra Fachri Fachrudin, | Editor: Dani Prabowo, Sabrina Asril, Sandro Gatra, Diamanty Meiliana)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.