Kita jangan lupa bahwa perintah puasa di bulan Ramadhan adalah untuk seluruh manusia beriman yang waktunya telah ditentukan. Artinya puasa Ramadhan dilaksanakan secara serempak dan bersamaan.
Justru dengan bersama-sama itulah ibadah puasa terasa ringan karena dirasakan secara kolektif. Hal ini pula yang diungkapkan oleh agamawan karismatik Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui karyanya berjudul Membuka Pintu Langit; Momentum Mengevalusai Perilaku dengan pertanyaan “Berapa banyak di antara kita yang mampu melaksanakan puasa, tarawih, witir dan tadarus sebulan penuh secara sendirian?”
Adanya perasaan bersama-sama itu memungkinkan kita menyadari bahwa terdapat suatu situasi di dalam puasa yang membuka penglihatan tentang kenyataan yang terjadi di luar kita.
Misalnya, ketika kita berbuka hingga kekenyangan dan tetangga kita tidak menemukan sesuatu untuk berbuka.
Perasaan lapar dan haus yang kita rasakan pada siang hari, semestinya menyadarkan kita betapa beratnya saudara kita yang sering merasakan kegetiran tanpa kenal siang-malam, tanpa kenal bulan. (A Mustofa Bisri, 2011).
Puasa sebagai suatu terminologi mendorong seorang mukmin untuk merohanikan penginderaan fisik agar qalbunya bergetar tatkala melihat penderitaan saudara di sekelilingnya.
Sebab masih banyak kisah tentang orang-orang di sekeliling kita yang untuk makan satu hari di bawah ukuran normal; tiga atau dua kali saja begitu sulit.
Tidak sedikit dari saudara-saudara kita yang berkekurangan dalam hal materi harus nyawur utang (pinjam) demi memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Mereka yang tidak mampu setiap saat berpacu dengan waktu untuk bertahan hidup. Boleh jadi mereka makan pada pagi hari, tetapi siangnya mereka berpuasa.
Kenyataan tersebut kadang kala membuat kita salah dalam berasumsi dengan menganggap keberadaan orang-orang yang tidak mampu itu disebabkan oleh lemahnya dukungan pemerintah, atau karena kemalasan mereka dalam berikhtiar.
Padahal bisa jadi keberadaan kelompok miskin di sekitar kita justru karena metaproblem struktural yang salah satunya diakibatkan hilangnya kepekaan sosial dan perasaan sadar dari orang-orang mampu di sekelilingnya.
Adanya problem yang kerap menjerat kelompok rentan yang berada di bawah garis kemiskinan seperti kelaparan, gizi buruk, stunting dan problem terkait semacam itu, pada gilirannya akan menjadi aib sosial di tengah besarnya jumlah populasi kelas menengah di Indonesia.
Kalangan menengah keatas tidak boleh berpangku tangan dengan sepenuhnya mengandalkan pemerintah untuk menyelesaikan segala problematika sosial.
Mengingat Dinas Sosial serta lembaga-lembaga pemerintah terkait yang mempunyai concern terhadap permasalahan sosial termasuk kemiskinan mempunyai jangkauan terbatas.
Atau tidak seluas jangkauan orang-orang berpenghasilan menengah yang dapat menembus sekat administrasi.