Periset Mark Raymond and David A. Welch (Maret, 2022) menyebutkan bahwa sejatinya, dalam beberapa hal, kebijakan China di Laut China Selatan bersifat ‘tarik ulur’ selama beberapa dekade terakhir.
China selalu bersikeras, misalnya, untuk menyelesaikan perselisihan melalui negosiasi bilateral dan selalu menyatakan komitmen untuk penyelesaian perselisihan yang bersahabat dan damai.
China juga dengan sengaja menghindari arbitrase, mediasi, atau negosiasi multilateral tentang pertanyaan yurisdiksi.
Namun, sebelum 2010, China berusaha untuk menjaga agar ketegangan di Laut China Selatan tetap rendah sambil mempertahankan sikap keras kepala dalam sengketa maritim dan teritorial.
Memang China juga berhenti mencoba menegakkan yurisdiksi perikanan lebih dari 12 mil dari fitur yang diklaimnya. Ia juga berhenti membangun pulau buatan walaupun terus menyelesaikan infrastruktur, termasuk infrastruktur militer, yang telah direncanakannya.
Singkatnya, dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan unilateralisme agresif China tiba-tiba berakhir.
Namun, menurut peneliti Erickson dan Martinson (2021) ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan bahwa China mungkin sekali lagi menggoda unilateralisme yang tegas.
Terbitnya Undang-Undang Penjaga Pantai baru pada tahun 2021 yang mengesahkan penggunaan kekuatan terhadap kapal asing dapat menunjukkan peningkatan kemauan untuk menegakkan klaim China dengan lebih kuat.
Selain itu, penyebaran yang diperpanjang pada Maret 2021 dari sejumlah besar kapal milisi maritim yang menyamar sebagai kapal perahu nelayan di Whitsun Reef di ZEE Filipina juga sulit dijelaskan dari perspektif kepatuhan tersembunyi.
Sementara itu, periset Strangio (2021) merilis laporan bahwa China menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran di ZEE-nya sendiri pada tahun yang sama.
Sengketa wilayah di Laut China Selatan masih jauh dari penyelesaian. Terlepas dari kemajuan penting tentang sikap menahan diri, hubungannya dengan Amerika Serikat dan Jepang tetap tegang.
Bahkan, kondisinya bisa kian mengkhawatirkan ketika Amerika Serikat terus memerlihatkan dukungannya kepada Taiwan.
Untuk pemahaman yang lebih baik apakah penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan setidaknya dalam waktu dekat diperlukan komitmen untuk memeriksa kembali peran aktor-aktor regional dan internasional guna mengurangi ketegangan dan mengakhiri konflik dengan menawarkan solusi.
ASEAN sebagai salah satu organisasi regional yang mengitari kawasan Laut Cina Selatan telah berperan membangun dialog guna mencegah perluasan kepentingan regional yang tumpang tindih, dan pengembangan kepercayaan dan kerja sama antara pihak-pihak di kawasan.
ASEAN pernah mengeluarkan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan yang ditandatangani oleh Beijing pada tahun 1997. Deklarasi tersebut menyerukan penyelesaian konflik di Laut China Selatan secara damai.