Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

"Soft Diplomacy" Menyelesaikan Masalah Laut China Selatan

Kompas.com - 21/03/2023, 11:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAMA lebih dari 10 tahun terakhir, konflik di Laut China Selatan terus menjadi sorotan. Terutama, ketika China membangun pulau-pulau ‘buatan’ di tengah Laut China Selatan.

Bahkan, dalam waktu kurang dari dua tahun, China telah mengubah tujuh karang menjadi tujuh pangkalan militer, menjadikan Laut China Selatan sebagai salah satu wilayah laut paling kontroversial di dunia.

China, begitu pula rivalnya Amerika Serikat memang sangat berkepentingan dengan kawasan tersebut. Pasalnya, kawasan tersebut diperkirakan mengandung 11 miliar barel minyak, 190 triliun kaki kubik gas alam, dan 10 persen sumber daya perikanan dunia.

Lebih penting lagi, sekitar 30 persen dari perdagangan maritim global melewati Laut China Selatan dalam perjalanannya menuju pelabuhan-pelabuhan di perdagangan penting di Asia Tenggara.

Selain itu, bagi negara-negara di sekitarnya, Laut China Selatan adalah sumber makanan utama, menyumbang 8 persen dari total produksi perikanan komersial dunia.

Kawasan ini bertanggung jawab memberi makan banyak negara berpenduduk terbesar saat ini, mulai dari 270 juta orang Indonesia hingga 1,4 miliar warga China. (Congressional Research Service, 2021).

Berkat aspek-aspek ini, Laut China Selatan menjadi wilayah maritim yang diperebutkan oleh lima negara, yaitu Filipina, Vietnam, China, Brunei, Taiwan, dan Malaysia.

Indonesia juga terbawa dalam masalah ini karena sebagian wilayah laut Indonesia juga diklaim China sebagai miliknya juga.

Latar belakang historis

Foto udara daratan buatan China, Karang Subi di Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. AS menyebut Beijing akan membangun tujuh pangkalan militer di jalur laut yang disengketakan.AFP/TED ALJIBE Foto udara daratan buatan China, Karang Subi di Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. AS menyebut Beijing akan membangun tujuh pangkalan militer di jalur laut yang disengketakan.
Sejarah Laut China Selatan memang panjang dan keruh. Selama berabad-abad, orang-orang dari berbagai komunitas di sekitarnya menangkap ikan dan mengarungi perairan itu sesuka hati.

Konflik utama di Laut China Selatan dimulai pada tahun 1279, ketika China menggambar peta teritorial pengaruhnya yang mencakup seluruh Laut China Selatan.

Sejak saat itu, kendali atas wilayah tersebut telah berpindah tangan antara kekuatan regional kemudian negara kolonial.

Namun, kebanyakan orang setuju bahwa sebagian besar masalah saat ini berasal dari Perjanjian San Francisco 1951, yang menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.

Dalam syarat penyerahannya, Jepang menyerahkan haknya atas pulau-pulaunya di Laut China Selatan, meninggalkan kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut.

Tidak ada negara yang secara eksplisit diberikan kedaulatan atas perairan ini, dan China (Pemerintah Kuomintang) menegaskan keunggulannya dengan mengajukan klaim "Garis Sembilan Titik" (Nine-Dash Line) yang sekarang terkenal dengan cakupan hampir seluruh Laut China Selatan pada tahun 1947.

Pada 1982, hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Tepat setelah itu, China menegaskan kembali Garis Sembilan Titiknya, menolak untuk mengklarifikasi batas garis ini, dan menolak klaim negara penggugat lainnya.

Periset Mark Raymond and David A. Welch (Maret, 2022) menyebutkan bahwa sejatinya, dalam beberapa hal, kebijakan China di Laut China Selatan bersifat ‘tarik ulur’ selama beberapa dekade terakhir.

China selalu bersikeras, misalnya, untuk menyelesaikan perselisihan melalui negosiasi bilateral dan selalu menyatakan komitmen untuk penyelesaian perselisihan yang bersahabat dan damai.

China juga dengan sengaja menghindari arbitrase, mediasi, atau negosiasi multilateral tentang pertanyaan yurisdiksi.

Namun, sebelum 2010, China berusaha untuk menjaga agar ketegangan di Laut China Selatan tetap rendah sambil mempertahankan sikap keras kepala dalam sengketa maritim dan teritorial.

Memang China juga berhenti mencoba menegakkan yurisdiksi perikanan lebih dari 12 mil dari fitur yang diklaimnya. Ia juga berhenti membangun pulau buatan walaupun terus menyelesaikan infrastruktur, termasuk infrastruktur militer, yang telah direncanakannya.

Singkatnya, dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan unilateralisme agresif China tiba-tiba berakhir.

Namun, menurut peneliti Erickson dan Martinson (2021) ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan bahwa China mungkin sekali lagi menggoda unilateralisme yang tegas.

Terbitnya Undang-Undang Penjaga Pantai baru pada tahun 2021 yang mengesahkan penggunaan kekuatan terhadap kapal asing dapat menunjukkan peningkatan kemauan untuk menegakkan klaim China dengan lebih kuat.

Selain itu, penyebaran yang diperpanjang pada Maret 2021 dari sejumlah besar kapal milisi maritim yang menyamar sebagai kapal perahu nelayan di Whitsun Reef di ZEE Filipina juga sulit dijelaskan dari perspektif kepatuhan tersembunyi.

Sementara itu, periset Strangio (2021) merilis laporan bahwa China menuntut agar Indonesia menghentikan pengeboran di ZEE-nya sendiri pada tahun yang sama.

Peran aktor regional dan internasional

Sengketa wilayah di Laut China Selatan masih jauh dari penyelesaian. Terlepas dari kemajuan penting tentang sikap menahan diri, hubungannya dengan Amerika Serikat dan Jepang tetap tegang.

Bahkan, kondisinya bisa kian mengkhawatirkan ketika Amerika Serikat terus memerlihatkan dukungannya kepada Taiwan.

Untuk pemahaman yang lebih baik apakah penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan setidaknya dalam waktu dekat diperlukan komitmen untuk memeriksa kembali peran aktor-aktor regional dan internasional guna mengurangi ketegangan dan mengakhiri konflik dengan menawarkan solusi.

ASEAN sebagai salah satu organisasi regional yang mengitari kawasan Laut Cina Selatan telah berperan membangun dialog guna mencegah perluasan kepentingan regional yang tumpang tindih, dan pengembangan kepercayaan dan kerja sama antara pihak-pihak di kawasan.

ASEAN pernah mengeluarkan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan yang ditandatangani oleh Beijing pada tahun 1997. Deklarasi tersebut menyerukan penyelesaian konflik di Laut China Selatan secara damai.

Sayangnya, proses pengambilan keputusan ASEAN bergantung pada konsensus di antara para anggotanya.

Kamboja dan Laos, misalnya, telah memutuskan untuk tidak terlibat dalam perselisihan ini, bahkan cenderung mendukung China, karena ketergantungan mereka yang hampir sepenuhnya pada kemitraan dengan China.

Selain itu, China adalah mitra dagang terbesar ASEAN, dari Singapura hingga Vietnam. Menentang China berarti kesengsaraan bagi sebagian besar anggotanya dan bahkan kebangkrutan bagi sebagian kecil (Congressional Research Service, 2021).

Dalam dimensi internasional, idealnya di wilayah yang kompleks seperti Laut China Selatan, diberlakukan aturan hukum internasional yang mapan dan tegas.

Dalam hal ini, Perjanjian Teluk Montego tahun 1982, bagian dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), merupakan titik balik dalam sengketa Laut China Selatan.

UNCLOS menetapkan hak negara berdaulat atas landas kontinen yang mengelilinginya dan pembentukan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dengan demikian, ini merupakan sumber hukum internasional utama dan terkemuka untuk menangani konflik secara langsung.

Referensi utama lainnya untuk berkaitan dengan masa depan perselisihan tersebut adalah keputusan Mahkamah Internasional, pada musim panas 2016.

Pengadilan di Den Haag memutuskan bahwa klaim China atas Filipina di Laut China Selatan melalui Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum.

Namun China, yang tidak mengakui keputusan pengadilan internasional tersebut, telah memperingatkan bahwa mereka akan melakukan segala daya untuk melindungi kedaulatannya (Sakamato, 2021).

Bahkan, China telah menyatakan di setiap kesempatan bahwa tidak nyaman dengan internasionalisasi situasi oleh aktor internasional (Congressional Research Service, 2021).

Sikap China tersebut membuat penyelesaiaan ketegangan di Laut China Selatan seperti menemui jalan buntu.

Soft Diplomacy

Berhadapan dengan ‘jalan buntu’, satu-satunya pendekatan alternatif yang penting untuk diterapkan adalah diplomasi lunak (soft diplomacy) atau kekuatan lunak (soft power).

Mantan Sekjen PBB, Joseph S Nye lewat bukunya Soft Power: The Means To Success In World Politics (2005) menyatakan soft diplomacy terlaksana melalui pendekatan sosial dan kebudayaan.

Menurut Nye, soft power adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu lebih melalui daya tarik, bukan lewat pemaksaan seperti yang terjadi sebelumnya.

Nye (2008) menyebutkan soft power adalah pendekatan diplomatik yang menggunakan unsur-unsur seperti budaya, sistem nilai dan kebijakan. Ini adalah pendekatan komunikasi dua arah, bukan komunikasi satu arah.

Menurut Buernay dkk (2014), soft diplomacy pada pelaksanaannya melibatkan lima komponen utama, yaitu: memperkuat soft power aktor diplomasi; proses komunikasi dua arah atau perukuran ide berdasarkan kesepakatan bersama; pertukaran makan, pembelajaranan dan refleksi diri; mengakomodir peran aktor non negara; dan secara substansial terkait dengan isu-isu lunak seperti kebudayaan, kesenian, nilai-nilai sosial seperti toleransi dan kegotongroyongan.

Acharya, Amitav (2014) dalam bukunya bertajuk “Indonesian Matters: Asia Emerging Democratic Power” (2014) menyebutkan bahwa Indonesia diperhitungkan oleh masyarakat dunia, bukan karena memiliki hard power berupa kekuatan ekonomi dan militer yang hebat, melainkan karena memiliki soft power yang tinggi, yaitu demokrasi, nilai kerukunan dan toleransi, dan seni budaya yang tinggi.

Jadi, dalam perspektif Nye di atas, Indonesia hendaknya terus mengikatkan perannya dalam menyelesaikan ketegangan di kawasan laut China Selatan melalui pendekatan soft diplomacy atau soft power tersebut.

Artinya, Indonesia perlu terus mengembangkan soft diplomacy melalui komunikasi dua arah dan kerja sama dalam bidang kebudayaan, kesenian dan nilai-nilai dengan China, Amerika Serikat dan negara-negara yang bersengketa supaya secara bersama-sama membangunan peradaban dan budaya damai di kawasan Laut Cina Selatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

Nasional
MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

TNI-Polri Bahas Penyalahgunaan Pelat Nomor Kendaraan yang Marak Terjadi Akhir-akhir Ini

Nasional
Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Andi Gani Ungkap Alasan Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

PKB Siap Bikin Poros Tandingan Hadapi Ridwan Kamil di Pilkada Jabar

Nasional
Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Hari Pendidikan Nasional, Serikat Guru Soroti Kekerasan di Ponpes

Nasional
Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Bukan Staf Ahli, Andi Gani Ditunjuk Jadi Penasihat Kapolri Bidang Ketenagakerjaan

Nasional
Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Anies Belum Daftar ke PKB untuk Diusung dalam Pilkada DKI 2024

Nasional
PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

PAN Persoalkan Selisih 2 Suara tapi Minta PSU di 5 TPS, Hakim MK: Mungkin Enggak Setengah Suara?

Nasional
Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Kuasa Hukum KPU Belum Paham Isi Gugatan PDI-P di PTUN

Nasional
KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

KPK Sita Pabrik Kelapa Sawit Bupati Nonaktif Labuhan Batu, Nilainya Rp 15 M

Nasional
Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Sidang Praperadilan Tersangka TPPU Panji Gumilang Berlanjut Pekan Depan, Vonis Dibacakan 14 Mei

Nasional
Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Hukuman Yusrizki Muliawan di Kasus Korupsi BTS 4G Diperberat Jadi 4 Tahun Penjara

Nasional
Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Airin dan Ahmed Zaki Dekati PKB untuk Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com