JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK) Thomas Widodo mengungkapkan, pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI tahun 2015 disetujui era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu disampaikan Thomas menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Fahzal Henri perihal kondisi PT DNK setelah dirinya tidak lagi menjabat di perusahaan tersebut.
Thomas mengaku, ia menerima informasi bahwa pemerintahan periode pertama Presiden Jokowi pada 2014 menyetujui proyek satelit yang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak disetujui.
"Saya dengar karena waktu itu sudah ada pembaruan. Di pemerintah baru di 2014, sudah pergantian rezim, waktu saya di zaman Pak SBY. Sesudah (tidak bekerja di PT DNK) itu kan zaman Pak Jokowi, memang saya dengar proyek satelit ini diterima," kata Thomas dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2023).
Baca juga: Eks Dirjen Kemenhan Tak Ajukan Eksepsi di Sidang Kasus Pengadaan Satelit
"Yang saudara dengar apa yang diterima? Mengenai apa? pengadaan kah? Atau penyewaan atau apa?" tanya hakim Fahzal.
"Saya dengar memang ada pengadaan," jawab Thomas.
Thomas mengungkapkan, ia mendapat informasi bahwa pemerintah saat itu berencana melakukan pengadaan satelit komunikasi.
Akan tetapi, ia tidak mengetahui secara detail satelit tersebut karena tidak lagi bekerja di PT DKN.
"Namanya kurang tahu apa," kata Thomas.
Baca juga: Jaksa: Proyek Satelit Kemenhan Rugikan Negara Rp 453 Miliar
Thomas mengeklaim meski lagi bekerja di PT DNK, ia masih mendapat informasi mengenai perkembangan tempat kerjanya lamanya itu.
Apalagi, mantan mertuanya, Ignatius Handoko Adi Winoto masih memegang saham di PT DNK.
Ignatius Handoko Adi Winoto diketahui merupakan teman dari Menteri Pertahanan (Menhan) era SBY, yakni Purnomo Yusgiantoro.
Selain itu, Komisaris Utama PT DNK yang juga terdakwa di kasus ini, Arifin Wiguna juga masih berteman dengan Thomas.
"Saya hanya dengar dari Pak Wiguna itu setelah tahun 2019, baru saya pernah dengar. Saya pernah dengar saja dari beliau (Wiguna)," kata Thomas.
"Terus dari itu saudara dapat informasi?" tanya Fahzal.
Baca juga: Kubu Eks Dirjen Kemenhan Klaim Keputusan Sewa Satelit Berdasarkan SK Menhan
Atas pertanyaan tersebut, Thomas membantah dapat informasi pengadaan satelit itu langsung dari Purnomo Yusgiantoro.
Namun, informasi terkait kelanjutan proyek tersebut didapatkan dari mertuanya, yang merupakan teman Menteri Pertahan saat itu.
"Dari mertua saya, bukan langsung dari pak Menhan (Purnomo Yusgiantoro) sendiri," ujar Thomas.
Dalam kasus ini, Jaksa koneksitas mendakwa mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan Laksamanan Muda (Purn) Agus Purwoto; Komisaris Utama PT DNK, Arifin Wiguna; Direktur Utama PT DKN, Surya Cipta Witoelar; dan Warga Negara Amerika Serikat (AS) yang bekerja sebagai Senior Advisor PT DNK, Thomas Anthony Van Der Heyden telah menimbulkan kerugian kerugian negara sebesar Rp 453.094.059.540,68 dalam pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT kontrak sewa satelit Artemis Avanti di Kemenhan RI tahun 2015.
Baca juga: Kasus Satelit di Kemenhan, Warga Negara AS Didakwa Rugikan Negara Rp 453 Miliar
Menurut jaksa koneksitas, dugaan kerugian negara tersebut didapatkan dari laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123° BT pada Kemenhan tahun 2012-2021 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor: PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 tanggal 12 Agustus 2022.
Jaksa koneksitas mengungkapkan, Laksamana Muda TNI Purnawirawan Agus Purwoto diminta oleh Thomas Anthony Van Der Heyden, Arifin Wiguna, dan Surya Cipta Witoelar untuk menandatangani kontrak sewa Satelit Floater, yaitu Satelit Artemis antara Kementerian Pertahanan RI dengan Avanti Communication Limited. Meskipun Sewa Satelit Floater itu tidak diperlukan.
Agus Purwoto, kata jaksa, tidak berkedudukan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan satelit tersebut sehingga tidak sesuai dengan tugas pokok dan tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak.
“Karena tidak pernah mendapat penunjukan sebagai PPK dari Pengguna Anggaran (PA), dalam penandatanganan kontrak tersebut,” ujar jaksa koneksitas.
Baca juga: Kejagung Tahan 4 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Satelit Kemenhan di Rutan Salemba
Lebih lanjut, jaksa juga memaparkan bahwa anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di Kemenhan dalam pengadaan satelit tersebut belum tersedia.
Selain itu, pengadaan satelit ini juga belum dibuat Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa dan belum ada Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (TOR), serta belum ada Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
“Tidak ada proses pemilihan penyedia barang/jasa, dan wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filing Satelit di Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT),” kata jaksa koneksitas.
“Satelit Artemis memiliki spesifikasi yang berbeda dengan (satelit sebelumnya yaitu) Satelit Garuda-1,” ujarnya melanjutkan.
Atas tindakannya, empat terdakwa dalam kasus ini dinilai telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Baca juga: Sidang Kasus Satelit Kemenhan dengan Terdakwa WNA AS Ditunda
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.