Setiap pengadilan, papar Denny, punya wilayah kerja masing-masing yang disebut dengan yurisdiksi alias kompetensi peradilan.
"(Perkara ini) bukan wilayah hukumnya untuk memutus perkara. Sehingga, menjatuhkan amar yang lagi-lagi bukan kewenangannya," ujar Denny.
Tidak lolosnya Prima menjadi peserta Pemilu 2024, ungkap Denny, masuk ranah sengketa proses pemilu. Sesuai Pasal 466-471 UU Pemilu, yang berwenang menjadi pengadil dalam perkara seperti ini adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan hanya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Sengketa proses inilah yang pernah kami advokasi ketika menjadi kuasa hukum Partai Ummat, melalui proses mediasi di Bawaslu, dan akhirnya menghasilkan keputusan Partai Ummat lolos sebagai peserta Pemilu 2024," ujar Denny memberikan contoh.
Baca juga: Eks Ketua MK: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Lampaui Kompetensi
Pengadilan umum, dalam hal ini PN Jakarta Pusat, tegas Denny, tidak punya kompetensi untuk memeriksa, mengadili, apalagi segala sesuatu yang terkait sengketa proses pemilu, yang dalam hal ini adalah proses verifikasi Prima untuk menjadi peserta Pemilu 2024.
"Apalagi, Prima sebenarnya juga telah melakukan langkah dan gugatan hukum soal kepesertaan pemilunya kepada Bawaslu dan PTUN, yang sudah divonis, dan sudah berkekuatan hukum tetap," imbuh Denny.
Artinya soal kepesertaan Partai Pemilu Partai Prima, sudah final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lain, apalagi lewat pengadilan negeri yang nyata-nyata tidak berwenang memutus sengketa proses pemilu.
Karena memasuki kamar yurisdiksi yang bukan kewenangannya, lanjut Denny, majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan perdata Prima ini akhirnya juga terjebak mengeluarkan amar yang keliru pula.
"Amar ke-5 yang pada intinya menghentikan tahapan pemilu, dan mengulangnya lagi sedari awal, jelas menabrak banyak norma hukum," ujar Denny.
Putusan itu menabrak norma konstitusi yang tegas menyatakan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun.
Baca juga: Yusril Anggap Majelis Hakim PN Jakpus Keliru Hukum KPU Tunda Pemilu dalam Gugatan Perdata
Lalu, putusan tersebut menabrak pula norma UU Pemilu yang menyatakan bahwa penundaan pemilu hanya dapat dilakukan karena ada kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
"Karena menabrak berbagai norma hukum tersebut maka Putusan PN Jakarta Pusat lagi-lagi tidak dapat, bahkan tidah boleh dilaksanakan," tegas Denny.
Membawa persoalan sengketa proses pemilu ke pengadilan negeri, kata Denny, jelas langkah hukum yang keliru. Namun, kecam dia, pengadilan negeri yang mengabulkannya lebih keliru dan lebih mengherankan lagi.
"Ada apa? Mengapa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai tidak memahami batas kewenangan dan kompetensinya?" tanya Denny.
Denny menjelaskan, kalaupun pengadilan negeri diberikan ruang untuk memutus isu perdata dalam perkara ini, padahal seharusnya pun tidak (quod non), putusannya harusnya tidak boleh berlaku umum (erga omnes) sebagaimana suatu putusan tata negara dalam hal pemilu.