Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Denny Indrayana: Ada 5 Cacat Putusan PN Jakarta Pusat soal Penghentian Tahapan Pemilu

Kompas.com - 03/03/2023, 09:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PUTUSAN perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023), yang antara lain memerintahkan penghentian tahapan Pemilu 2024 terus menuai kecaman. Dari Melbourne, Australia, praktisi dan guru besar hukum tata negara Denny Indrayana turut angkat suara.

Seperti telah ramai jadi pemberitaan, kasus ini merupakan gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima merasa dirugikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.

Menjadi soal, di amar putusan perkara perdata itu antara lain dinyatakan dengan jelas perintah menghentikan tahapan Pemilu 2024. Ada batas waktunya pula. Ini yang oleh publik dibaca sebagai perintah penundaan pemilu.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Tak Ada Kewenangan Pengadilan Perdata soal Pemilu, Hakimnya Layak Dipecat

"Hebatnya lagi, dari biasanya butuh waktu cukup lama untuk mendapatkannya, salinan putusan tersebut langsung beredar. Ini prestasi yang patut diapresiasi sekaligus menimbulkan pertanyaan," ujar Denny mengawali pendapatnya soal putusan perkara perdata ini, Jumat (3/3/2023).

Dari perkara itu, lanjut Denny, yang langsung mengundang reaksi publik dan dibaca sebagai perintah penundaan pemilu adalah bunyi butir ke-5 dan ke-6 amar putusan.

Butir ke-5 amar putusan menyatakan: 

Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.

Lebih jauh, butir ke-6 amar putusan memerintahkan:

Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad).

Baca juga: Bunyi Putusan PN Jakpus yang Perintahkan KPU Tunda Pemilu 2024

Lima cacat putusan PN Jakarta Pusat

Menyikapi putusan perdata PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan yang diajukan Prima, Denny menyebut setidaknya ada lima cacat.

"Ada panca cacat putusan PN Jakarta Pusat yang menyebabkan putusan tersebut wajib tidak dilaksanakan, apalagi serta-merta," ungkap mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini.

1. Cacat hukum

Denny menyebut, setiap putusan pengadilan memang harus dihormati. Namun, bila putusan itu tidak cacat hukum yang fatal. Cacat hukum yang fatal menyebabkan sebuah putusan tidak dapat dilaksanakan alias non-executable

"Putusan PN Jakarta Pusat jelas mengandung cacat hukum yang mendasar sehingga tidak dapat dilaksanakan," tegas Denny. 

Menurut Denny, akan ada perdebatan lebih lanjut soal butir ke-6 amar putusan yang memerintahkan pelaksanaan secara serta-merta. Namun, Denny pun berpendapat bahwa amar ini harus diabaikan.

2. Salah yurisdiksi

Cacat hukum mendasar yang dilakukan majelis hakim perkara ini, ungkap Denny, adalah memutuskan perkara yang bukan yurisdiksinya. 

Setiap pengadilan, papar Denny, punya wilayah kerja masing-masing yang disebut dengan yurisdiksi alias kompetensi peradilan. 

"(Perkara ini) bukan wilayah hukumnya untuk memutus perkara. Sehingga, menjatuhkan amar yang lagi-lagi bukan kewenangannya," ujar Denny.

Tidak lolosnya Prima menjadi peserta Pemilu 2024, ungkap Denny, masuk ranah sengketa proses pemilu. Sesuai Pasal 466-471 UU Pemilu, yang berwenang menjadi pengadil dalam perkara seperti ini adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan hanya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Sengketa proses inilah yang pernah kami advokasi ketika menjadi kuasa hukum Partai Ummat, melalui proses mediasi di Bawaslu, dan akhirnya menghasilkan keputusan Partai Ummat lolos sebagai peserta Pemilu 2024," ujar Denny memberikan contoh.

Baca juga: Eks Ketua MK: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Lampaui Kompetensi

Pengadilan umum, dalam hal ini PN Jakarta Pusat, tegas Denny, tidak punya kompetensi untuk memeriksa, mengadili, apalagi segala sesuatu yang terkait sengketa proses pemilu, yang dalam hal ini adalah proses verifikasi Prima untuk menjadi peserta Pemilu 2024.

"Apalagi, Prima sebenarnya juga telah melakukan langkah dan gugatan hukum soal kepesertaan pemilunya kepada Bawaslu dan PTUN, yang sudah divonis, dan sudah berkekuatan hukum tetap," imbuh Denny.

Artinya soal kepesertaan Partai Pemilu Partai Prima, sudah final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lain, apalagi lewat pengadilan negeri yang nyata-nyata tidak berwenang memutus sengketa proses pemilu.

3. Terjebak amar keliru

Karena memasuki kamar yurisdiksi yang bukan kewenangannya, lanjut Denny, majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan perdata Prima ini akhirnya juga terjebak mengeluarkan amar yang keliru pula. 

"Amar ke-5 yang pada intinya menghentikan tahapan pemilu, dan mengulangnya lagi sedari awal, jelas menabrak banyak norma hukum," ujar Denny.

Putusan itu menabrak norma konstitusi yang tegas menyatakan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun.

Baca juga: Yusril Anggap Majelis Hakim PN Jakpus Keliru Hukum KPU Tunda Pemilu dalam Gugatan Perdata

Lalu, putusan tersebut menabrak pula norma UU Pemilu yang menyatakan bahwa penundaan pemilu hanya dapat dilakukan karena ada kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lain yang mengakibatkan tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan.

"Karena menabrak berbagai norma hukum tersebut maka Putusan PN Jakarta Pusat lagi-lagi tidak dapat, bahkan tidah boleh dilaksanakan," tegas Denny.

4. Putusan keliru dan mengherankan

Membawa persoalan sengketa proses pemilu ke pengadilan negeri, kata Denny, jelas langkah hukum yang keliru. Namun, kecam dia, pengadilan negeri yang mengabulkannya lebih keliru dan lebih mengherankan lagi.

"Ada apa? Mengapa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai tidak memahami batas kewenangan dan kompetensinya?" tanya Denny.

Denny menjelaskan, kalaupun pengadilan negeri diberikan ruang untuk memutus isu perdata dalam perkara ini, padahal seharusnya pun tidak (quod non), putusannya harusnya tidak boleh berlaku umum (erga omnes) sebagaimana suatu putusan tata negara dalam hal pemilu.

"Salah satu karakteristik putusan perdata adalah hanya berlaku untuk para pihak yang berperkara, karena menyangkut persoalan di antara penggugat dan tergugat saja," papar Denny.

Baca juga: Mahfud Sebut Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu 2024 Sensasi Berlebihan dan Salah

Karena itu, jelas tidak bisa putusan perkara perdata sampai menunda pemilu yang mengikat agenda publik dan agenda negara, sekaligus mengikat para pihak di luar yang sedang berperkara.

"Itulah kesalahan konseptual dan kecacatan mendasar lain dari Putusan PN Jakarta Pusat tersebut," jelas Denny.

5. Putusan tidak dapat dilaksanakan

Karena majelis hakim PN Jakarta Pusat masuk ke wilayah kerja yang bukan yurisdiksinya, lalu memutus amar yang bukan kewenangannya dan berkonsekuensi menunda pemilu, amar ke-6 putusan yang menyatakan berlaku serta-merta pun menurut Denny tidak dapat dilaksanakan (non-executable).

"Suatu putusan yang dilaksanakan secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad) meskipun ada perlawanan atau banding sebenarnya adalah konsep perdata (Pasal 180 HIR) dan lebih terkait soal kewajiban pembayaran yang harus dilaksanakan segera agar tidak makin merugikan korban," tutur Denny.

Baca juga: Mahfud: Vonis PN Jakpus Tak Bisa Dieksekusi, Harus Dilawan Secara Hukum!

Karena itu, tegas dia, amar seperti ini tidak tepat sama sekali untuk diterapkan dalam perkara tata negara apalagi berkonsekuensi menunda pemilu.

"Maka, amar putusan 'serta-merta' itu pun wajib diabaikan," ujar Denny lugas.

Lawan trisula skenario tunda pemilu

Dengan uraiannya di atas, Denny menyarankan KPU untuk tidak hanya wajib mengajukan perlawanan hukum dan menyatakan banding atas putusan PN Jakarta Pusat tersebut, tetapi juga KPU harus tetap menjalankan tahapan pemilu tanpa terganggu.

"Jangan sampai penundaan pemilu menjadi kenyataan," tegas Denny.

Baca juga: Perludem: Putusan PN Jakpus soal Tunda Pemilu Janggal dan Mencurigakan

Terlebih lagi, Denny mengaku mendengar ada trisula skenario penundaan pemilu. Ketiga skenario itu adalah penundaan pemilu lewat dekrit presiden, sidang istimewa MPR, serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus perubahan sistem pemilu proporsional sekaligus menunda pemilu.

"Apa pun skenarionya, penundaan pemilu yang demikian adalah pelanggaran dan bencana konstitusi yang harus kita lawan dengan lantang, karena akan makin mengkhianati dan merusak demokrasi di Tanah Air," tegas Denny.

Reaksi keras

Reaksi keras atas putusan perdata PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Prima datang dari aneka penjuru.

Mantan Ketua MK dan guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, bahkan sampai meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) turun tangan segera untuk memeriksa dan bila perlu langsung memecat hakim perkara ini.

Pakar hukum tata negara lain pada umumnya menegaskan pula soal kesalahan mendasar putusan perdata PN Jakarta Pusat tersebut. Di antara mereka ada mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra.

Pegiat pemilu seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut putusan ini janggal dan mencurigakan. Partai politik pendukung pemerintah dan oposisi juga lantang mengecam putusan perdata tersebut. 

Adapun KPU memastikan akan mengajukan banding atas putusan perdata PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Prima sekaligus menyatakan tahapan Pemilu 2024 tetap akan berlanjut.

Baca juga: KPU Akan Banding Putusan PN Jakarta Pusat soal Pemilu Ditunda

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com