Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zackir L Makmur
Wartawan

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Jangan Politisasi Dana Bantuan Sosial

Kompas.com - 01/03/2023, 09:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam arti tertentu, kepentingan program bantuan sosial yang sudah disukmai nilai-nilai politis membuat masyarakat dinilai berdasarkan kepentingan politiknya. Dengan memberi nilai ini, harga masyarakat ditempatkan dalam posisi: nilai guna dan nilai tukar.

Apresiasi masyarakat terhadap apa sesungguhnya program bantuan sosial dari negara, oleh karena itu mengalami pergeseran. Lebih bermakna, sebagaimana lazimnya jadi statemen masayarakat bawah: “sabodo amat, nyang penting dapet duit.”

Arti statemen tersebut adalah tidak peduli siapa yang memberi –apakah yang memberi negara atau partai politik, yang memberi lurah atau caleg—terpenting adalah dapat dana bantuan.

Maka semua elemen bangsa harus mengawal dana bantuan sosial sampai ke tingkatan paling bawah. Hal ini harus, karena demi menjaga nilai hakiki dana bantuan sosial agar tidak dilepaskan maknanya.

Pamrih Politikal

Dana perlindungan sosial dipakai untuk berbagai program yang disalurkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dan kementerian lainnya.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan masyarakat, terutama terhadap mereka yang rentan kondisi perekonomian dan tergolong kurang mampu.

Pada titik ini Negara tampak demikian cinta pada warganya. Tentu saja ini kabar gembira. Dalam falsafah cinta pada konteks Negara, sebagaimana dikatakan filsuf Augustinus (354-439), punya daya menolong yang begitu kuat.

Teolog yang hidup pada 5 abad Masehi, menekankan bahwa Negera yang tersemai cinta pada warga laksana mempunyai tangan, kaki, mata, dan telinga.

Tangan dan kaki untuk menolong yang miskin dan membutuhkan. Mempunyai mata untuk melihat penderitaan, dan mempunyai telinga untuk mendengar rintihan dan kesengsaraan warganya.

Maka ada benarnya perkataan filsuf Augustinus itu, demikian Negara yang dibutuhkan bagi setiap insani yang papa dan miskin.

Tetapi bersamaan dengan itu, Negara dalam sistem apa pun itu –baik demokratis, sosialis, kapitalis, maupun komunis-- acapkali menolong tidak serta merta memberi pertolongan, ada pamrih.

Pada mulanya Negara menyuguhkan pamrih agar warga turut serta aktif membangun, gejala ini tampak di semua Negara.

Tapi kemudian, Negara yang juga dikelola oleh sejumlah orang yang terhimpun menjadi pemerintah, pamrih yang ditagih tidak lagi bersifat transendental maupun sosial. Melainkan, pamrih politikal.

Pada korelasi itulah apa yang pernah diingatkan oleh Presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009), bahwa "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," menjadi relevan.

Namun, pamrih politikal itu juga bisa secara lihai memakai topeng kemanusiaan, karena itu dana bantuan sosial bisa lebih bersifat mengikat konstituen yang sering mengatasnamakan untuk kebaikan warga Negara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com