Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zackir L Makmur
Wartawan

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Jangan Politisasi Dana Bantuan Sosial

Kompas.com - 01/03/2023, 09:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KABAR gembira. Laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengabarkan bahwa alokasi anggaran perlindungan sosial di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023 sebesar Rp 476 triliun.

Anggaran tersebut lebih tinggi dibandingkan realisasi atau penyerapan dana bantuan sosial (bansos) pada APBN 2022 yang tercatat sebesar Rp 461,6 triliun. Ada kenaikan 3,1 persen sebesar Rp 14,4 triliun.

Kabar gembira ini, di sisi lain, teriring pula pertanyaan: mengapa saat-saat dinamika politik jelang Pemilu 2024 menaik? Apakah ini semacam kebijakan populis?

Berdasarkan kisah Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019 bahwa pada tahun-tahun politik, kebijakan anggaran biasanya punya pola yang sama: pemberian bansos untuk menarik simpati masyarakat.

Pada titik ini kemungkinan besar bisa tereksploitasi sebagai alat kontrol politik demi memanen suara.

Sehubungan dengan hal itulah lembaga riset Center of Reform on Economics (CORE) menyoroti anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 476 triliun agar tidak dijadikan kebijakan populis menjelang Pemilu 2024.

Hal ini untuk tepat sasaran terhadap pengentasan kemiskinan dan penguatan daya beli masyarakat.

Pergeseran nilai bantuan

Dana bantuan yang dipolitisasi bisa menjadi “alat” yang dipertukarkan. Untuk sebagian kalangan masyarakat –terutama lapisan bawah—alat ini demikian dibutuhkan untuk mengatasi sejumlah persoalan riil. Dana ini dikonsumsi menjadi menu yang lezat.

Dana bantuan sosial yang dikaji dalam sejumlah risalah dan telaah, telah menunjukan bahwa hal ini bisa “menjinakkan” masyarakat dengan bantuan sosialiasi terselebung.

Maka di luar dana resmi dari negara pun, dana perorangan atau dana kolektif dalam sebuah partai politik digunakan pula menjadi alat yang memesona untuk mempermudah mengumpulkan jumlah suara pemilih.

Tapi tidak boleh serampangan disebut sebagai alat pembayaran –walau secara halus mungkin saja iya.

Apa yang pernah dikatakan sang bankir dari Amerika Serikat, Ziad K. Abdelnour, bahwa "Jadilah cukup kuat untuk berdiri sendiri, cukup pintar untuk mengetahui kapan Anda membutuhkan bantuan,” sangat mendebarkan untuk kontek masyarakat di tahun politik ini.

Dengan begitu konsepsi dari sana yang terjadi, bahwa program bantuan sosial yang dieksplorasi sebagai bagian terselubung kampanye menyasar ke masyarakat bawah karenanya tanpa bisa disebut ilegal. Walau setelah itu, program tersebut menguap begitu saja.

Program bantuan sosial dari negara, oleh broker politik bisa dimainkan sebagai suatu cara pendekatan ke basis-basis pemilih.

Kata basis-basis pemilih akan menjadi sama dengan “kesetiaan” konstituen: maka ini harus dirawat, dipupuk, untuk kemudian saatnya dipetik.

Dalam arti tertentu, kepentingan program bantuan sosial yang sudah disukmai nilai-nilai politis membuat masyarakat dinilai berdasarkan kepentingan politiknya. Dengan memberi nilai ini, harga masyarakat ditempatkan dalam posisi: nilai guna dan nilai tukar.

Apresiasi masyarakat terhadap apa sesungguhnya program bantuan sosial dari negara, oleh karena itu mengalami pergeseran. Lebih bermakna, sebagaimana lazimnya jadi statemen masayarakat bawah: “sabodo amat, nyang penting dapet duit.”

Arti statemen tersebut adalah tidak peduli siapa yang memberi –apakah yang memberi negara atau partai politik, yang memberi lurah atau caleg—terpenting adalah dapat dana bantuan.

Maka semua elemen bangsa harus mengawal dana bantuan sosial sampai ke tingkatan paling bawah. Hal ini harus, karena demi menjaga nilai hakiki dana bantuan sosial agar tidak dilepaskan maknanya.

Pamrih Politikal

Dana perlindungan sosial dipakai untuk berbagai program yang disalurkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dan kementerian lainnya.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan masyarakat, terutama terhadap mereka yang rentan kondisi perekonomian dan tergolong kurang mampu.

Pada titik ini Negara tampak demikian cinta pada warganya. Tentu saja ini kabar gembira. Dalam falsafah cinta pada konteks Negara, sebagaimana dikatakan filsuf Augustinus (354-439), punya daya menolong yang begitu kuat.

Teolog yang hidup pada 5 abad Masehi, menekankan bahwa Negera yang tersemai cinta pada warga laksana mempunyai tangan, kaki, mata, dan telinga.

Tangan dan kaki untuk menolong yang miskin dan membutuhkan. Mempunyai mata untuk melihat penderitaan, dan mempunyai telinga untuk mendengar rintihan dan kesengsaraan warganya.

Maka ada benarnya perkataan filsuf Augustinus itu, demikian Negara yang dibutuhkan bagi setiap insani yang papa dan miskin.

Tetapi bersamaan dengan itu, Negara dalam sistem apa pun itu –baik demokratis, sosialis, kapitalis, maupun komunis-- acapkali menolong tidak serta merta memberi pertolongan, ada pamrih.

Pada mulanya Negara menyuguhkan pamrih agar warga turut serta aktif membangun, gejala ini tampak di semua Negara.

Tapi kemudian, Negara yang juga dikelola oleh sejumlah orang yang terhimpun menjadi pemerintah, pamrih yang ditagih tidak lagi bersifat transendental maupun sosial. Melainkan, pamrih politikal.

Pada korelasi itulah apa yang pernah diingatkan oleh Presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009), bahwa "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," menjadi relevan.

Namun, pamrih politikal itu juga bisa secara lihai memakai topeng kemanusiaan, karena itu dana bantuan sosial bisa lebih bersifat mengikat konstituen yang sering mengatasnamakan untuk kebaikan warga Negara.

Negara Punya Cinta

Proses demikian secara terang-terangan maupun secara halus sangat kuat terjadi dalam sistem Negara komunis maupun sosialis.

Bukan berarti dalam sistem Negara kapitalis ataupun demokratis, tidak ada unsur pamrih politikal itu. Malah lebih menufik secara halus.

Oleh karena itu dana bantuan sosial akan menemui sasarannya, bukan cuma bagi-bagi sembako seharga Rp 200.000 per penerima, atau pun bagi-bagi duit melalui bantuan sosial yang bisa dicairkan lewat Program Keluarga Harapan (PKH), PBI Jaminan Kesehatan, Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dan PIP Kementerian Agama (Kemenag).

Tidak sekadar itu. Melainkan, suatu bantuan sosial yang bersih dari kepentingan politik.

Maka apa yang pernah diomongin filsuf Jerman, Albert Schweitzer (1875-1965), patut sama-sama kita renungkan.

Di mana teolog ini berkata: "Meski hanya sedikit, lakukan sesuatu untuk mereka yang memerlukan bantuan, sesuatu yang tidak membuatmu memperoleh bayaran selain kehormatan untuk melakukannya."

Mengimplementasikan hal itu, tentu saja ini menjadi kabar gembira, karena dana bantuan sosial adalah bagian Negara mempunyai “tangan dan kaki untuk menolong yang miskin dan membutuhkan. Mempunyai mata untuk melihat penderitaan, dan mempunyai telinga untuk mendengar rintihan dan kesengsaraan warganya.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com