RABU kemarin, genap satu pekan usia vonis majelis hakim atas Richard Eliezer. Proses hukum atas dirinya telah usai. Terlebih jaksa penuntut umum tidak mengajukan banding atas vonis 1 tahun 6 bulan penjara yang ditimpakan kepada Eliezer.
Namun isu tentang Eliezer ternyata belum sungguh-sungguh berakhir. Kini muncul pertanyaan di publik tentang masa depan Eliezer di institusi Polri.
Memang masuk akal apabila ada kalangan yang berpendapat bahwa Eliezer seyogianya tidak kembali ke Polri.
Bagi saya, pandangan itu sangat masuk akal. Logikanya, bagaimana mungkin Eliezer sanggup menjalankan tupoksi Polri ketika ia pada kenyataannya berstatus sebagai terpidana. Terpidana pembunuhan berencana pula.
Anggaplah bahwa hukuman yang Eliezer tanggung terbilang ringan. Namun 1,5 tahun penjara bagi pencopet tentu punya bobot sangat berbeda dengan 1,5 tahun penjara bagi pembunuh berencana.
Jadi, semakin relevan untuk menyoal kelayakan Eliezer melanjutkan kariernya sebagai anggota kepolisian.
Walau demikian, bagi saya, pertanyaannya bukan apakah Eliezer pantas atau tidak pantas meneruskan karirnya di Polri.
Tentu pantas. Sebagai terpidana yang sekaligus menyandang status sebagai justice collaborator, yang bersinonim dengan whistleblower, Eliezer sudah memperlihatkan betapa ketaatan pada kebenaran adalah lebih tinggi daripada kepatuhan yang menyimpang.
Dengan mentalitas seperti itu, Eliezer layak dipandang sebagai aset. Bukan sebagai musuh. Eliezer adalah purwarupa manusia dengan nilai hidup yang sangat dibutuhkan Polri.
Problemnya justru berada pada Polri. Yaitu, sesiap apa Polri menerima Eliezer kembali?
Jawaban atas pertanyaan itu bergantung pada dua hal. Pertama, penting bagi Polri untuk mengadakan sistem pengembangan karier bagi personel dengan kondisi seperti Eliezer.
Pada satu sisi, karier profesional Eliezer harus terus dibina dan dikembangkan. Namun, pada sisi lain, tidak bisa dielakkan kenyataan bahwa Eliezer adalah terdakwa yang telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana isi pasal 340 KUHP.
Dan semakin serius karena pembunuhan berencana itu dilakukan oleh aparat penegakan hukum. Alih-alih taat hukum, dia justru melanggar hukum. Itu sangat serius.
Terhadap anggota Polri yang pernah melakukan tindak pidana sedemikian rupa, pastinya Polri berkepentingan besar untuk memastikan Eliezer tidak mengulangi perbuatan pidana. Baik pidana berupa perbuatan yang sama maupun pidana terkait pelanggaran hukum lainnya.
Jadi, di samping memberikan perlakuan berupa pengembangan profesionalisme Eliezer, Polri secara simultan harus menyelenggarakan penakaran risiko (risk assessment) dan rehabilitasi terhadap anggota Brimob tersebut.
Bahkan tepat apabila penakaran risiko Polri (bersama Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham) lakukan sebelum memutuskan menolak atau menerima Eliezer kembali.
Apabila penakaran risiko menyimpulkan bahwa Eliezer memiliki risiko sangat tinggi untuk melakukan kejahatan kembali, maka Polri perlu menghitung secara seksama kesanggupannya untuk menerima Eliezer.
Sekiranya Eliezer diputuskan dapat kembali bekerja di Polri, juga perlu dipertimbangkan apakah ia akan kembali ke Brimob atau justru dialihkan ke satuan kerja Polri yang tidak berurusan dengan senjata api dan tidak menangani situasi kekerasan. Bahkan bisa saja Eliezer dialihkan menjadi aparat sipil negara Polri.
Kedua, Polri perlu membangun sistem perlindungan khusus bagi Eliezer. Dengan sistem tersebut, Eliezer akan terjaga dari kemungkinan serangan balik oleh kubu-kubu yang barangkali tidak gembira dengan sepak terjang Eliezer.
Dengan kata lain, Polri semestinya nyaman membuka pintu masuk bagi Eliezer yang merupakan seorang justice collaborator alias whistleblower.
Sengaja dicantumkan kata "semestinya" karena realitasnya adalah di lingkungan lembaga penegakan hukum seperti Polri sangat mungkin masih mewabah subkultur menyimpang bernama kode senyap (code of silence).
Kode ini ditandai oleh kekompakan para personel untuk menutup-nutupi kesalahan satu sama lain.
Jadi, datangnya kembali seorang whistleblower justru dikhawatirkan akan dipandang sebagai sosok yang berpotensi mengganggu jiwa korsa korps Tribrata tersebut.
Risiko serangan balik itu pula yang diakui sebagai kendala terbesar bagi anggota organisasi sebelum memutuskan muncul sebagai whistleblower.
Ketakutan itu tercermin pada temuan survei bahwa hampir 90 persen orang menyatakan ketidaksanggupannya menjadi whistleblower akibat bayang-bayang intimidasi, dibukanya catatan aib yang bersangkutan, paksaan untuk keluar dari organisasi tempatnya bekerja, bahkan kriminalisasi.
Karena itulah, sekembalinya Eliezer nanti ke Polri, mutlak penting bagi Polri untuk membudayakan whistleblowing di internal Polri. Sekaligus Polri harus memberikan jaminan bahwa Eliezer dan para whistleblower lainnya terlindungi dari segala bentuk viktimisasi.
Akhirnya, tidak bisa disangkal: dari perkara pidana Sambo, Eliezer, dan lainnya muncul pekerjaan rumah berupa agenda beres-beres organisasi Polri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.