JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri, serius mendata pemilih dalam Pemilu 2024.
Pramono menyinggung, rezim kepemiluan di Indonesia semakin administratif, di mana hak pilih warga negara betul-betul ditentukan oleh KTP elektronik/suket, sehingga pendataan awal oleh Kemendagri dan verifikasi oleh KPU menjadi kunci.
"KPU harus lebih keras dalam pemutakhiran data pemilih kelompok rentan. KPU dan Bawaslu juga perlu berkoordinasi dengan Kemendagri terkait identitas kependudkan warga negara yang sudah punya hak pilih tetapi belum punya KTP elektronik, belum punya perekaman," ungkap Pramono dalam diskusi yang disiarkan akun YouTube Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri Kemendagri, dikutip Selasa (21/2/2023).
Baca juga: Wapres Minta Polri Jaga Stabilitas Keamanan dan Netralitas Jelang Pemilu 2024
"Koordinasi itu kata yang mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Saya tahu karena saya bagian dari itu dulu," imbuh eks komisioner KPU RI itu.
Pramono menjelaskan bahwa rezim kepemiluan di Indonesia pernah lebih substantif. Sebagai contoh, pada 2007-2009, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa hak konstitusional warga dalam memilih tidak boleh terkendala hambatan administrasi.
Oleh sebab itu, ketika itu, MK membolehkan pemilih yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap bisa memilih dengan berbagai syarat, misalnya memilih di TPS sesuai alamat hingga membawa identitas selain KTP.
Namun, dalam perjalanannya, KTP menjadi alat utama bagi pemilih dapat memberikan suaranya, dengan argumen bahwa syarat administrasi itu bertujuan untuk mencegah penyelewengan hak pilih.
Baca juga: Paloh Temui AHY Besok, Bahas Penundaan Pemilu hingga Deklarasi Koalisi Perubahan
Namun yang terjadi, banyak warga negara kehilangan hak pilih karena persyaratan administrasi ini, semisal pemilih pemula, pemilih non-KTP elektronik, suku-suku dan kelompok adat tertentu, hingga pekerja migran tanpa identitas.
"Jumlah pekerja migran Indonesia diperkirakan berjumlah 9 juta. Namun, data pemilih di luar negari hanya sekitar 2 juta," ujar Pramono memberi contoh.
Ia juga mengungkapkan potensi hilangnya hak pilih bagi suku tertentu yang masih melarang foto diri.
Contoh lain adalah pemungutan suara ulang (PSU) pada Pilkada 2020 di Jambi dan Labuhanbatu.
"Di Pilgub Jambi dilakukan PSU di 88 TPS karena pemilih non-KTP elektronik dinyatakan oleh MK tidak berhak memilih. Itu besar sekali," kata Pramono.
Baca juga: PKB Ungkap Masih Ada Pihak yang Ingin Menunda Pemilu
"Lalu PSU jilid II di 2 TPS Labuhanbatu tahun 2020 juga, itu pemilih non-KTP lalu menggunakan kartu keluarga oleh MK dinyatakan tidak sah," ungkapnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mekanisme penyusunan daftar pemilih dilakukan secara de jure.
Itu artinya, pendekatan untuk memverifikasi pemilih dilakukan berdasarkan KTP elektronik.
Sementara itu, KPU dalam hal penyusunan daftar pemilih bertindak sebagai pengguna data dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) yang diserahkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
"Apa yang bisa kami lakukan, mendorong. Komunikasi kami dengan Kemendagri cukup lancar agar nanti Kemendagri bisa ikut merekam (KTP elektronik masyarakat adat) sebelum DPT (daftar pemilih tetap) ditetapkan pada 21 Juni 2023 ini," ungkap Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI, Betty Epsilon Idroos, Senin (20/2/2023).
Baca juga: Puncaki Elektabilitas di Survei Litbang Kompas, PDI-P: Momentum Terus Kerja Menangi Pemilu 2024
"Cara kami adalah berkoordinasi dengan Kemendagri untuk jemput bola ke lapangan karena Kemendagri yang memiliki kewenangan merekam penduduk kita dari lapangan," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.