JAKARTA, KOMPAS.com - Hak pilih masyarakat adat pada Pemilu 2024 rentan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui masyarakat adat menjadi salah satu kelompok pemilih rentan, selain pemilih disabilitas, pekerja migran, sampai narapidana.
Kerentanan masyarakat adat berangkat dari pendataan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mekanisme penyusunan daftar pemilih dilakukan secara de jure.
Itu artinya, pendekatan untuk memverifikasi pemilih dilakukan berdasarkan identitas kependudukan, dalam hal ini KTP elektronik. Sementara itu, perekaman KTP elektronik masih menjadi tantangan untuk masyarakat adat.
"Untuk masyarakat adat, tadi sudah disampaikan ada yang menyebut angkanya 1,5 juta atau 2 juta. Nah ini, kami belum mendapatkan data riil by name by address-nya di mana," ujar Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI, Betty Epsilon Idroos, dalam diskusi di Kementerian Dalam Negeri, Senin (20/2/2023).
"Kalau belum terekam (KTP elektroniknya), di mana juga, berapa jumlah populasinya," tambahnya.
Baca juga: Menggugat Asas Rekognisi terhadap Masyarakat Adat
Sementara itu, KPU dalam hal penyusunan daftar pemilih bertindak sebagai pengguna data.
Basis pengerjaan pencocokan dan penelitian (coklit) oleh petugas pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) adalah Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.
Betty mengaku telah berkoordinasi dengan Kemendagri terkait hal ini.
"Apa yang bisa kami lakukan, mendorong. Komunikasi kami dengan Kemendagri cukup lancar agar nanti Kemendagri bisa ikut merekam (KTP elektronik masyarakat adat) sebelum DPT (daftar pemilih tetap) ditetapkan pada 21 Juni 2023 ini," ungkap eks Ketua KPU DKI Jakarta itu.
Perekaman KTP elektronik untuk masyarakat adat menjadi tantangan karena berbagai faktor. Betty menyinggung faktor keterbatasan akses dan transportasi hingga sosial-budaya.
Baca juga: Masyarakat Adat Kawi Minta Pemerintah Kembalikan Hutan Adat
Beberapa kelompok masyarakat adat disebut tak membutuhkan KTP, sedangkan beberapa kelompok lain memiliki nilai-nilai lain yang dianut yang tak memungkinkan mereka dipotret.
"Cara kami adalah berkoordinasi dengan Kemendagri untuk jemput bola ke lapangan karena Kemendagri yang memiliki kewenangan merekam penduduk kita dari lapangan," tambah Betty.
Eks komisioner KPU RI yang kini duduk sebagai Wakil Ketua Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, berharap agar persoalan koordinasi ini tidak hanya diucapkan.
"KPU harus lebih keras dalam pemutakhiran data pemilih kelompok rentan. KPU dan Bawaslu juga perlu berkoordinasi dengan Kemendagri terkait identitas kependudkan warga negara yang sudah punya hak pilih tetapi belum punya KTP elektronik, belum punya perekaman," ungkap Pramono dalam forum yang sama.
?"Koordinasi itu kata yang mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Saya tahu karena saya bagian dari itu dulu," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.