PARA relawan, dalam dunia politik, kemunculannya begitu membahana dimulai sejak Pemilu 2014. Dinamika gerakan ini dalam politik elektoral sangat signifikan, karena itu mereka juga memberikan andil terhadap pengawalan dan pemenangan kandidat.
Sepuluh tahun dari sana, jelang Pemilu 2024, relawan politik tidak pernah satu, ia berkembang biak seperti kucing yang satu kali etape bisa melahirkan bisa sampai tujuh anak. Maka populasi ini tak bisa susut.
Terlebih dalam tahun politik ini, sejumlah tokoh digadang-gadang bersamaan munculnya kelompok relawan.
Para tokoh ini antara lain Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Erick Thohir, maupun Sandiaga Uno. Semua tokoh ini masing-masing punya kelompok relawan.
Sebutlah Sahabat Ganjar yang mendukung Ganjar Pranowo. Lalu Prabowo Subianto dengan nama Relawan Sedulur Prabowo. Puan Maharani dengan Relawan Puan. Relawan Airlangga Hartarto tergabung dalam Gerakan BerkAH.
Relawan Sandiaga Uno bernama 'Sandiuno Fans Club', relawan Muhaimin Iskandar bernama Muhaimin Squad, relawan Anies Baswedan bernama Go Anies. Relawan relawan pendukung Erick Thohir bernama Sobat Erick. Relawan Ridwan Kamil bernama Kamil Republik Indonesia (RKRI), dan lain sebagainya.
Relawan di dunia politik, tidaklah selamanya disebut relawan tulen. Apa yang disajikan sebagai “kerja bakti” berbeda jauh dari asal-usulnya sebagai relawan tulen. Kerja bakti relawan politik demi mencapai “kemenangan” sang calon dalam pemilihan umum (pemilu).
Demi mencapai kemenangan, adakalanya relawan tokoh yang satu dan tokoh lainnya saling mencibir, saling ejek, dan bahkan saling menyerang –baik ini dalam bentuk harfiah denotatif maupun konotatif.
Di dalam dunia politik jelang pemilu maka relawan sulit untuk saling akur kerja sama. Masing-masing punya energi yang tinggi untuk terus menjaga dan merawat berperpihakan konsituen sampai hari pemilihan.
Semua itu agar tingkat elektabilitas sang tokoh terus naik, popularitasnya berpendar-pendar, dan sentimen positif menguat. Para relawan politik ini tebar pesona sang tokoh.
“Sihir” pesona ini, seorang sastrawan kenamaan peraih Nobel Sastra (1956), Albert Camus (1913-1960) memberitahukannya, "Anda tahu apa pesona itu: cara untuk mendapat jawaban 'ya' tanpa harus bertanya secara jelas."
Cara itu diterjemahkan oleh relawan politik dari para tokoh melalui berbagai event masing-masing. Ada yang jor-joran mengadakan kegiatan sosial bagi-bagi sebako. Ada yang menyelenggarakan pelatihan keterampilan –termasuk keterampilan menggunakan teknologi informasi.
Ada pula yang membuat panggung konser dengan menampilkan beberapa band papan atas, seperti Charli Setia Band, D'Massive, Jamrud, New Monata, Joy Jeconiah, dan artis-artis lokal. Bahkan, ada pula yang membuat acara senam bersama.
Macam-macam nama dan kegiatannya, tapi tujuannya satu: melakukan konsolidasi, sekaligus memoles sang tokoh demi mencapi kemenangan. Dan siapapun bisa menangani kemenangan, juga hanya yang kuat yang tahan kekalahan.
Mengenai kemenangan dan kekalahan, tokoh penerbit (Forbes Magazine) bernama Malcolm Forbes (1919-1990) memberikan petuah indah: "Kemenangan menjadi hal paling manis ketika Anda telah mengenal kekalahan."