“We will maintain the trust and confidence of our elected leaders, civilian control of the military remains a core principle of our Republic and we will preserve it. We will remain an apolitical institution and sustain this position at all costs.”
INI adalah quote pertama di dalam dokumen National Millitary Strategy Amerika Serikat untuk tahun 2011, yang diterbitkan oleh U.S. Joint Chiefs of Staff.
Quote tersebut merupakan salah satu kutipan krusial dalam doktrin baru sistem pertahanan Amerika Serikat pascaperang dingin plus pasca-Global War on Terrorism (GWOT), yang meletakkan superioritas pemimpin sipil terpilih pada posisi "unchallangable" atas militer.
Sementara sepanjang era perang dingin, doktrin militer Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh buku Samuel P. Huntington, "Soldier and The State," terbit tahun 1957, yang memberi ruang sangat besar untuk pihak militer dalam memengaruhi setiap keputusan pemimpin sipil terpilih.
Lalu setelah bencana 9 11 terror attack, peran militer kembali menguat di bawah pengaruh doktrin preemptive dan preventive war ala Bush Junior; Presiden ke-43 Amerika Serikat, yang dibayang-bayangi oleh ideologi Neo Konservatisme.
Atas spirit antiterorisme, pertimbangan pertahanan menjadi cermin krusial dalam setiap pengambilan kebijakan strategis pemerintah Amerika Serikat.
Perkembangan yang sama terjadi di negara lain, terutama negara-negara yang memilih sistem politik demokratis pascaruntuhnya Uni Soviet (gelombang demokratisasi ketiga, meminjam istilah Huntington).
Di Indonesia, setelah reformasi bergulir, polisi dipisahkan dari TNI. Dwifungsi ABRI dipensiunkan. Pembagian tugas TNI dan Polisi dibuat terang benderang. TNI fokus pada pertahanan (eksternal) dan Polisi akan mengurusi urusan keamanan dan ketertiban masyarakat (internal).
Pascaperistiwa 9 11 terror attack, Indonesia juga tidak luput dari gegap gempita antiterorisme, disertai dengan beberapa aksi teroris yang menyertainya. Namun demikian, tidak seperti di Amerika Serikat, polisi mendapat porsi peran yang jauh lebih besar dibanding dengan TNI.
Anggaran institusi Polri mendadak menjadi jumbo, baik dari kocek pemerintah sendiri maupun anggaran bantuan dari Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya di bawah tajuk anggaran pemberantasan dan penanggulangan bencana terorisme.
Hal tersebut seiring dengan penambahan sayap-sayap institusional baru di tubuh Polri di satu sisi dan preferensi politik penguasa sipil atas institusi Polri di sisi lain, terutama sejak era Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian berlanjut hingga ke era Joko Widodo.
Karena itu, secara teknis memang cukup bisa dipahami mengapa institusi TNI merasa agak sedikit tertinggal di belakang dan kemudian muncul usulan untuk menambah jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) sesuai dengan jumlah provinsi yang ada.
Meskipun begitu, secara fiskal Kementerian Pertahanan adalah kementerian dengan anggaran paling besar. Lihat saja, anggaran Kemenhan tercatat Rp 115,4 triliun pada tahun 2019, lalu melonjak signifikan menjadi Rp 136,9 triliun pada 2020.
Kemudian pada tahun 2021, anggaran Kemenhan turun menjadi Rp 125,9 triliun, dan pada 2022 Kementerian Pertahanan mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp 133,4 triliun.
Dan pada tahun ini Kementerian Pertahanan direncanakan akan mendapatkan anggaran sebesar Rp 134 triliunan.