JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) untuk memperkuat hakim.
Mahfud menampik bahwa revisi UU itu membuat hakim tidak independen.
"Enggak, justru ini mau memperkuat hakim kok," kata Mahfud usai rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Namun, ia tak menjelaskan lebih jauh soal tujuan memperkuat hakim yang dimaksudnya itu.
Baca juga: Pemerintah Setujui Revisi UU MK meski Akademisi Usulkan Tolak
Mahfud mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya tidak memiliki agenda untuk kembali melakukan revisi UU MK itu.
Namun, karena ada usulan dari DPR dan sudah sesuai prosedur, pemerintah sepakat untuk dibahas.
"Tetapi karena DPR berdasarkan hak dan kewenangan konstitusionalnya telah mengajukan usul inisiatif perubahan UU tersebut dan ini sudah sesuai prosedur dan persyaratan yang ditentukan aturan perundang-undangan, maka pemerintah akan menggunakan kesempatan ini untuk menawarkan alternatif melalui DIM (daftar inventarisasi masalah)," kata Mahfud.
Menurut dia, pemerintah pernah mengundang akademisi untuk mencari pendapat mengenai usulan revisi UU MK itu. Namun, mereka meminta pemerintah menolak usulan DPR tersebut.
"Menurut pemerintah upaya perbaikan dari keadaan yang sekarang. Artinya pemerintah menyetujui usul ini untuk dibahas," ujar Mahfud.
Ia pun berharap agar revisi UU ini dapat segera dilakukan.
Baca juga: Revisi UU MK, Ketua Komisi III: Supaya Kita Clear Buat UU, Tak Kena Judicial Review
Sementara itu, Komisi III yang diwakili anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengusulkan agar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) direvisi.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi III Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul itu, Habiburokhman mengungkapkan sejumlah alasan pentingnya revisi ini dilakukan untuk keempat kalinya.
"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," kata Habiburokhman membacakan pertimbangan.
UU MK terakhir kali direvisi pada 2020. Menurut Habiburokhman, ketentuan dalam UU ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.
"Menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," kata dia.
Baca juga: Rapat dengan Mahfud, Komisi III Usul UU MK Direvisi Lagi
Adapun beberapa hal yang dinilai perlu direvisi seperti batas usia minimal hakim konstitusi.
Kemudian, soal evaluasi hakim konstitusi serta unsur keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
"Penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.