Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Silang Pendapat KPU-Bawaslu pada Permulaan Coklit, Jokowi Dibawa-bawa

Kompas.com - 16/02/2023, 06:27 WIB
Vitorio Mantalean,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah silang pendapat pada permulaan masa pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih.

Dimulainya coklit ditandai dengan apel serentak di seluruh kelurahan/desa di Indonesia pada Minggu (12/2/2023). Coklit akan berlangsung sampai 14 Maret 2023.

Setiap petugas pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) bertanggung jawab atas daftar pemilih per 1 TPS dan harus melakukan coklit dari rumah ke rumah.

Baca juga: KPU Pastikan Pantarlih Coklit Pemilih dari Rumah ke Rumah

Hal yang jadi masalah, Bawaslu tidak diberikan data maupun akses data yang menjadi rujukan pantarlih melakukan coklit di lapangan.

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menilai, tanpa data, pengawas dari Bawaslu yang ikut serta mengawasi pantarlih kehilangan orientasi.

"Kalau mau ditutup (data sensitif/privat warga negara) tidak masalah, tapi biarkan kami mengawasi dengan data. Kami sekarang bagai peta buta ini, mengawasi melekat dengan teman-teman (pantarlih) di tingkat bawah," ujar Bagja kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).

Bawaslu ingin lapor Jokowi

Bagja mengatakan, pihaknya akan melaporkan KPU Presiden RI Joko Widodo karena tidak dibaginya akses data ini menyebabkan Bawaslu kesulitan melakukan pengawasan coklit.

Hal ini, menurut Bagja, bertentangan dengan pesan Presiden Jokowi dalam Konsolidasi Nasional Bawaslu pada 17 Desember 2022.

"Bapak Presiden Joko Widodo mengingatkan jika ada lembaga pemerintah yang menghalang-halangi Bawaslu untuk mengakses data pemilih, maka laporkan kepada Presiden. Kami akan laporkan," ujar Bagja kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).

"Ini sebenarnya sudah tegas Pak Presiden ngomong seperti itu dan sekarang kami akan melakukan itu," kata dia.

Baca juga: Bawaslu Mau Laporkan KPU ke Jokowi karena Tak Diberi Akses Data Pemilih untuk Awasi Coklit

Dalam acara Konsolidasi Nasional Bawaslu, Presiden Jokowi mengingatkan agar Bawaslu bekerja keras mengawasi penyusunan daftar pemilih tetap (DPT).

Alasannya, kata dia, setiap pemilu DPT selalu menjadi polemik dan menjadi tudingan kecurangan.

"Saya berharap Bawaslu benar-benar bekerja keras mengawasi proses penyusunan DPT ini," kata Jokowi, dikutip situs resmi Bawaslu RI.

Mantan Gubernur DKI itu menegaskan agar Bawaslu melaporkan kepadanya jika ada dari pihak pemerintah yang menghambat dan tidak kooperatif.

"Nanti, Pak Rahmat Bagja laporkan ke saya. Karena, urusan DPT ini sangat krusial dari tahun ke tahun dan sangat memengaruhi kepercayaan masyarakat kita. Hati-hati mengenai ini (daftar pemilih) dan mungkin yang terberat karena melibatkan jumlah pemilih yang sangat besar," ujar politikus PDI-P itu.

Bagja membandingkan keadaan ini dengan saat Bawaslu juga mengaku kesulitan mengakses data keanggotaan partai politik dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU pada semester kedua 2022, saat pendaftaran dan verifikasi calon peserta Pemilu 2024 berlangsung di KPU.

"Ada apa lagi, pertanyaannya, apakah tidak mau diawasi? Jangan sampai lagi ditutup-tutupi lah," kata dia.

Baca juga: KPU Tak Beri Data Pemilih untuk Coklit, Bawaslu: Apa Tak Mau Diawasi?

Bagja meminta agar KPU tidak berlindung di balik dalih kerahasiaan data pribadi.

Menurut dia, hal itu ganjil. Sebab, pantarlih yang secara entitas tidak disebutkan dalam Undang-undang Pemilu pun, diberikan data tersebut untuk melakukan coklit.

Sementara itu, Bawaslu merupakan lembaga negara penyelenggara pemilu yang sifatnya resmi dan bertugas mengawasi kinerja KPU.

"Pantarlih kan panitia, KPU membuka data daftar pemilih. Tapi, kepada bawaslu, KPU tidak membukanya. Ada apa? Pertanyaannya itu. Buka dong," ujar Bagja.

KPU singgung zero data sharing policy

Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI Betty Epsilon Idroos mengakui bahwa daftar pemilih yang menjadi rujukan pantarlih melakukan coklit tidak dibagikan ke siapa pun di luar KPU.

Betty beralasan, data tersebut tergolong sebagai data bergerak atau belum final.

"Jadi itu data masih diproses kami. Itu dikecualikan (dari data yang bisa dibagikan)," ungkap Betty kepada Kompas.com, Rabu.

"Itu belum (disebut) data pemilih, itu masih data hasil sinkronisasi. Kalau DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih) itu sudah ada kebijakan dari Mendagri (Menteri Dalam Negeri) soal zero data sharing policy," kata dia.

Baca juga: Waspada Penipuan, Ini Ciri-ciri Petugas Coklit KPU yang Datang ke Rumah

Menurut eks Ketua KPU DKI Jakarta itu, informasi tersebut merupakan salah satu "informasi yang dikecualikan" untuk dibagikan.

Betty mengeklaim bahwa bukan inisiatif KPU untuk tak membagikan data ini.

KPU disebut baru bisa membaginya jika data tersebut sudah berstatus sebagai data pemilih.

"Ada kebijakan dari mereka (Kemendagri) dan juga Undang-undang 27 Tahun 2022 terkait Pelindungan Data Pribadi itu nggak memperbolehkan," ujar Betty.

"Nanti kita baru bisa sharing kalau itu sudah jadi data pemilih. Data pemilih itu kan DPS (Daftar Pemilih Sementara) dan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Kalau yang sekarang, belum (bisa disebut data pemilih)," kata dia.

Betty menegaskan bahwa pihaknya tidak anti terhadap pengawasan oleh Bawaslu dalam proses ini.

Ia mempersilakan pengawas Bawaslu untuk melakukan pengawasan melekat pada petugas pantarlih yang melaksanakan coklit dari rumah ke rumah.

Bawaslu sudah siapkan aturan

Sementara itu, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan bahwa Bawaslu tengah mempersiapkan peraturan yang mengatur lembaga itu berhak mendapatkan data dalam pengawasan pemutakhiran daftar pemilih.

"Peraturan Bawaslu kami sekarang sedang proses sinkronisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Kalau ini sudah diundangkan maka sesungguhnya akan secara tegas menyatakan Bawaslu berhak mendapatkan data," ungkap Lolly, Rabu.

Ia mengeklaim bahwa rancangan peraturan maupun isu ini sudah pernah dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR RI, yang turut dihadiri oleh KPU, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah yang membidangi kepemiluan.

"Semuanya bersepakat untuk memberikan data tinggal realisasinya bagaimana. Nah komitmen ini yang sedang kami tagih," ujar Lolly.

Ia juga mengatakan, satu-satunya akses yang saat ini mereka kantongi di tengah tahapan coklit adalah akses terhadap data kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.

Baca juga: KPU: Coklit Luar Negeri Bisa Virtual, Pemilih Diminta Pilih 1 dari 3 Metode Pemberian Suara

Namun, akses itu hanya untuk mengetahui penduduk yang melapor ke Bawaslu soal masalah daftar pemilih, melalui Posko Kawal Hak Pilih yang dibentuk Bawaslu.

Sementara itu, data yang dibutuhkan pengawas yang turun ke lapangan untuk mengawasi kerja pantarlih melakukan coklit adalah DP4 dari Kemendagri yang sudah dibersihkan oleh KPU untuk dicoklit.

Dalam DP4 yang diterima KPU RI dari Kemendagri pada 14 Desember 2022, terdapat 204.656.053 penduduk potensial pemilih dalam negeri pada Pemilu 2024 nanti.

Penduduk yang masuk dalam DP4 adalah WNI yang akan berusia 17 tahun atau lebih pada hari H Pemilu 2024 dan bukan anggota TNI/Polri.

"Sehingga ini memang menjadi keterbatasan karena begitu kami turun ke bawah DP4-nya kami tidak pegang," ujar Lolly.

"Jadi sesungguhnya memang kami sekarang sedang berupaya. Ketua sudah sangat tegas menyatakan, kita harus dapat, karena kalau enggak dapat nanti yang dipertaruhkan itu hak pilih warga negara. Maka, apa pun caranya, Bawaslu akan tegas soal ini," tutur dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com