Apalagi, kata dia, BI menilai hal itu tidak dikategorikan sebagai dana pihak ketiga (DPK) yang menjadi acuan penghitung kewajiban bank dalam memenuhi giro wajib minimum (GWM) dan lainnya.
“Jika pengaturannya hanya seperti ini, maka ekonomi dalam negeri tidak mendapatkan manfaat optimal atas penempatan DHE di perbankan nasional, selain penerimaan perpajakan atas bunga DHE di reksus,” ujarnya.
Baca juga: 200 Perusahaan SDA Berpotensi Tempatkan Devisa Hasil Ekspor Cukup Besar di Dalam Negeri
Said mengimbau, BI tidak meletakkan DHE SDA sebagai “lahan parkir” istimewa yang tidak memberi manfaat banyak bagi keuangan domestik. Hal ini dilakukan agar DHE SDA mempunyai manfaat finansial dan tanggung jawab perbankan lebih mengikat.
“Sebaiknya, DHE SDA yang berada di reksus dihitung sebagai acuan untuk menilai GWM dan rasio intermediasi prudensial dari bank penerima,” katanya.
Kedua, pembayaran yang diterima eksportir dalam bentuk DHE seharusnya dicatatkan sebagai pendapatan usaha, atau utang usaha jika mendapatkan pinjaman luar negeri oleh perusahaan eksportir.
“Meskipun tidak semua, setidaknya ada peluang besar bagi pemerintah dan BI untuk mendorong DHE SDA menjadi alternatif sumber investasi dalam negeri, terutama terhadap sektor-sektor prioritas yang menjadi perhatian pemerintah,” terangnya.
Ia menyebutkan, jika pemerintah bisa memberikan penawaran yang menarik, khususnya peluang investasi baru yang menjanjikan imbal hasil sesuai, pemilik DHE SDA tentunya akan tertarik untuk terlibat dalam penawaran.
Baca juga: BI Segera Terapkan Instrumen Operasi Valas Baru Terkait Devisa Hasil Ekspor SDA
“Oleh sebab itu, pemerintah sebaiknya membuka menu investasi yang menarik buat mereka, seperti halnya pemerintah membuat penawaran pada skema repatriasi modal saat Tax Amnesty beberapa waktu lalu,” ungkapnya.
Ketiga, pemerintah ke depan juga perlu mengatur lebih lanjut DHE non-SDA, seperti halnya pemerintah mengatur DHE SDA.
“Memang benar hasil DHE non-SDA tidak sebesar SDA. Ke depan bisa jadi hasil DHE non-SDA ini bisa melampaui DHE dari SDA, mengingat tidak semua hasil SDA bisa diperbarui,” sebutnya.
Pada tujuh tahun terakhir, remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) per tahun mencapai minimal 8,69 miliar dollar AS.
Capaian tertinggi kiriman remitansi TKI pada 2019, yakni mencapai 11,44 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 160 triliun.
Baca juga: Pemerintah Bakal Tambah Sektor yang Wajib Parkir Devisa di RI
“Devisa yang dihasilkan TKI akan semakin besar sumbangsihnya bila TKI bisa merambah ke sektor-sektor yang skillfull dan high tech. Sektor ini perlu pikirkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Said mengatakan, banyak devisa dari TKI selama ini tertelan untuk kebutuhan konsumsi. Untuk itu, pemerintah perlu mengorkestrasi melalui berbagai perkumpulan TKI.
Perkumpulan tersebut diharapkan masuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif yang menjanjikan dengan imbal hasil yang logis, legal, dan berkelanjutan. Langkah ini diharapkan menguntungkan semua pihak.
“Selain TKI, dunia digital dan sektor kreatif akan menjadi prospek masa depan devisa Indonesia,” ungkapnya.
Menurutnya, meski bukan yang terdepan, sektor jasa teknologi informasi dalam bentuk web design, animasi, hingga desain grafis dari Indonesia banyak diminati oleh perusahaan-perusahaan internasional.
“Kekayaan kreatif kita juga belum optimal digarap untuk menghasilkan devisa. Tumpuan kita selama ini masih pada sektor pariwisata,” jelasnya.
Baca juga: Implementasi B35 Bisa Hemat Devisa hingga 10,75 Miliar Dollar AS
Padahal, kata Said, kekayaan seni, arsitektural, serta intelektual Indonesia sangat menjanjikan dan berpotensi menghasilkan banyak devisa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.