MUNCULNYA Pasal 2 UU No. 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang harus diapresiasi sebagai upaya negara memberikan ruang untuk hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat.
Namun teknis pelaksanaannya sangat riskan atas dominasi negara terhadap masyarakat adat.
Negara cenderung mengulangi kesalahannya dengan menegaranisasi Hukum Adat daripada merekognisi maupun melindungi.
Pasal 2 berisi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berikut adalah tiga alasan kenapa Pasal 2 KUHP baru perlu untuk direvisi.
Kekuatan masyarakat adat ada pada keberlangsungan dari pranata adat yang secara konsisten kesinambungan mempertahankan hukum adat mereka dari generasi ke generasi.
Pasal 2 KUHP baru tidak memberikan ruang pada pranata adat, melainkan pada Pemerintah Daerah dimana Tindak Pidana Adat nantinya akan diatur dalam Peraturan Daerah.
Pranata adat tidak diberikan ruang dalam menempatkan kriteria Tindak Pidana Adat (Delik Adat) dan juga proses penegakan hukum adat.
Logika ini tidak lain adalah logika “dominasi”, di mana negara masih menempatkan keberadaan Hukum Adat secara subordinat dalam sistem hukum nasional.
Masyarakat adat yang selama ini mengalah dan termarjinalkan seakan tidak diberi ruang secara bebas dalam menjalankan hak-hak tradisionalnya.
Melihat masyarakat adat dari perspektif negara adalah suatu persoalan, karena negara yang cenderung mendominasi akan bias terhadap berbagai kepentingan.
Belajar dari kolonial Belanda, pemberian ruang terhadap pranata adat dalam menjalankan sekaligus menegakkan Hukum Adat masih lebih mengakomodir volkgeist sehingga terciptalah dualisme hukum.
Negara Republik Indonesia yang berangkat dari gagasan “membebaskan” dan “melindungi” haruslah dapat lebih baik dari kolonial Belanda dalam memperlakukan masyarakat adat.
Peraturan daerah seharusnya sebatas mengatur berkaitan aspek rekognisi pranata adat bukan mengatur Tindak Pidana Adat.