Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ilham Yuli Isdiyanto
Dosen

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Tiga Alasan Pasal 2 KUHP Baru soal "Living Law" Perlu Direvisi

Kompas.com - 12/02/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNCULNYA Pasal 2 UU No. 1/2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang harus diapresiasi sebagai upaya negara memberikan ruang untuk hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat.

Namun teknis pelaksanaannya sangat riskan atas dominasi negara terhadap masyarakat adat.

Negara cenderung mengulangi kesalahannya dengan menegaranisasi Hukum Adat daripada merekognisi maupun melindungi.

Pasal 2 berisi:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berikut adalah tiga alasan kenapa Pasal 2 KUHP baru perlu untuk direvisi.

Pengabaian pranata adat

Kekuatan masyarakat adat ada pada keberlangsungan dari pranata adat yang secara konsisten kesinambungan mempertahankan hukum adat mereka dari generasi ke generasi.

Pasal 2 KUHP baru tidak memberikan ruang pada pranata adat, melainkan pada Pemerintah Daerah dimana Tindak Pidana Adat nantinya akan diatur dalam Peraturan Daerah.

Pranata adat tidak diberikan ruang dalam menempatkan kriteria Tindak Pidana Adat (Delik Adat) dan juga proses penegakan hukum adat.

Logika ini tidak lain adalah logika “dominasi”, di mana negara masih menempatkan keberadaan Hukum Adat secara subordinat dalam sistem hukum nasional.

Masyarakat adat yang selama ini mengalah dan termarjinalkan seakan tidak diberi ruang secara bebas dalam menjalankan hak-hak tradisionalnya.

Melihat masyarakat adat dari perspektif negara adalah suatu persoalan, karena negara yang cenderung mendominasi akan bias terhadap berbagai kepentingan.

Belajar dari kolonial Belanda, pemberian ruang terhadap pranata adat dalam menjalankan sekaligus menegakkan Hukum Adat masih lebih mengakomodir volkgeist sehingga terciptalah dualisme hukum.

Negara Republik Indonesia yang berangkat dari gagasan “membebaskan” dan “melindungi” haruslah dapat lebih baik dari kolonial Belanda dalam memperlakukan masyarakat adat.

Perda tindak pidana adat “Overlapping”

Peraturan daerah seharusnya sebatas mengatur berkaitan aspek rekognisi pranata adat bukan mengatur Tindak Pidana Adat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com