Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri, dan lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok kognisi.
Dalam konteks Pemilu, jika rakyat memahami Pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik, sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan di antara para elite partai politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tingkatan pemili (rakyat).
Ini adalah kondisi psikologis yang timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik di antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam pemilu, dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan Pemilu itu sendiri.
Kondisi tersebut oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger disebut sebagai inskonsistensi logis. Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik bisa menyebabkan pemilih apatis, bahkan menjadi apolitis di kemudian hari.
Pemilu seyogianya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, tetapi harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rasional voter) yang memiliki daya tawar.
Oleh karena itu partai politik peserta Pemilu harus berkomitmen secara operasional sebagai berikut. Pertama, taat dan patuh kepada aturan main yang telah ditetapkan.
Kedua, memilih calon-calon yang berkualitas baik untuk anggota parlemen pusat dan daerah, senator, presiden dan wakil presiden, dan bupati/walikota.
Ketiga, menguatkan peran fungsional mereka dalam kerja-kerja nyata yang bisa menguatkan warga.
Keempat, tidak menjadi bagian dari aksi menghalalkan segala cara untuk menang dengan menabrak aturan main yang telah ditetapkan.
Misalnya, melakukan kampanye hitam, menyebarkan hoaks, mengumbar ujaran kebencian, melakukan doxing, perundungan, persekusi, membeli suara (vote buying), bertransaksi ilegal dengan para penyelenggara, dan lain-lain.
Dengan kata lain, demi Pemilu yang berkualitas dan demokratis, hendaknya partai-partai politik peserta Pemilu tampil sebagai pelopor dalam menerapkan Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Mereka juga harus giat melakukan pendidikan politik agar rakyat selaku pemilih, pertama, memahami secara baik ketentuan hukum terkait Pemilu (electoral law).
Electoral law menyangkut pilihan sistem pemilu yang digunakan warga negara dalam memilih para wakilnya.
Sistem pemilu memiliki konsekuensi terhadap derajat keterwakilan atas hasil-hasil pemilu, sistem kepartaian (khususnya jumlah partai politik), akuntabilitas pemerintahan, dan kohesi partai-partai politik.
Kedua, memahami dan berpartisipasi aktif sadar dan kritis dalam proses Pemilu (electoral process).
Partai-partai politik juga perlu selalu mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) supaya menyelenggarakan Pemilu (electoral management) secara transparan dan akuntabel. Mereka juga perlu mendorong Bawaslu untuk melakukan kegiatan pengawasan Pemilu secara ketat.
Apabila tiga pilar tersebut dikembangkan secara baik dan selaras maka kita memiliki harapan akan sebuah Pemilu yang tak hanya Luber dan Jurdil, tetapi juga menghasilkan electoral outcame yang berkualitas dan demokratis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.