Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 02/02/2023, 15:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMARIN, media menampilkan adegan yang tak biasa ketika Jokowi tertawa masam dalam acara PDI-P, Puan Maharani bermuka masam meski sedang berbaik hati membagi kaos partai.

Atau Surya Paloh juga tak disalami Jokowi saat bertemu muka. Ganjar Pranowo yang kebingungan ketika Megawati tampil berpidato. Belum lagi Megawati yang tak pernah selesai "move on-nya" dari SBY sejak 2004.

Politik memang punya wajah sendiri yang tipikal dan mewakili semacam stereotip wajah para politikus. Bersaing, dalam arti yang sesungguhnya. Kita beda, maka kita ada!

Namun ada kalanya juga terjadi sebaliknya, bersaing hingga berdarah-darah saat pemilu, tapi karena syahwat kuasa yang lebih di depan dibanding nurani dan rakyat, maka sudah menjadi kelaziman jika yang bertarung kemudian mengonsolidasikan diri, dalam apa yang disebut dengan sinergi politik para elite. Membangun koalisi, melakukan dagang sapi, politik kekerabatan.

Bahkan para elite tak sadar ketika ribuan orang yang ikut berdarah-darah karena politik, kebingungan dengan pilihan sikap politik para elite yang didukungnya.

Padahal, di daerah-daerah yang kental persaingan politiknya, ada keluarga yang ribut hingga cerai karena suami-istri beda pilihan parpol. Ada kuburan yang harus dibongkar karena pemilik tanah tak separtai-sehaluan.

Bahkan ada yang menarik sumbangannya untuk rumah ibadah, karena jamaah di kampungnya disinyalir jadi sebab kekalahan si politikus instan yang mencari jabatan. Dan sederet cerita lain yang aneh dan absurd.

Maka kita kemudian dikenalkan dengan gastrodiplomacy, ketika nasi goreng menjadi simbol dan penanda politik, karena untuk meng-eufimisme politik yang keras harus dilembutkan, misalnya dengan simbol sepiring"nasi goreng", "sejam di kereta api" atau "berkuda di Cikeas yang asri dan sejuk".

Kompor gas dan bayi politik

Meski pilpres baru digelar 2024, tapi kompor politik yang tadinya memakai sumbu, kini beralih ke kompor gas. Politik makin panas.

Apalagi kabar terbaru "bayi capres" yang lahir dari ibu "Nasdem" ternyata baik-baik saja, bahkan "para orang tua" sudah mengakui statusnya.

Dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi membuat Anies Rasyid Baswedan punya tiket mendaftar sebagai calon presiden (capres) 2024, jika anggota koalisi tidak berkurang hingga pendaftaran ke KPU. Anies sudah mendapatkan dukungan dari Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS.

Peroleh suara dukungan Anies, totalnya sudah melebihi syarat pencapresan dengan jumlah kursi 20 persen di DPR.

Nasdem menyumbang 59 kursi (10,26 persen), Demokrat 54 kursi (9,39 persen), dan PKS 50 kursi (8,70 persen). Berarti kini Anies mengamankan 28,35 persen.

Kini giliran para ibu-ibu lainya yang ketar-ketir memikirkan apakah "bayinya" juga akan lahir selamat? Apalagi jika sebenarnya "bayinya prematur" tapi tak bisa lagi dilahirkan secara bedah sesar (caesar) alias cesarean section, caesarean delivery, atau C-section atau seksio sesarea.

Proses mengeluarkan "bayi politik" dari perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk jadi capres atau cawapres dalam pilpres 2024, harus cepat agar publik tahu dan tidak penasaran.

Apalagi PDIP yang ngotot ingin "bayi perempuan", padahal masih prematur untuk persalinanya, sedangkan bayi yang laki-laki justru "lebih sehat" dan anehnya tidak prematur.

Jangan bawa-bawa patriarkis dalam soal ini. Barangkali ini hanya karena soal "bayinya lebih berbobot" karena ukuran beda "kualitas gizi politiknya".

Waktu semakin mendesak, tapi PDIP masih memaksa harus menunggu hingga Juni 2023 untuk proses kelahirannya, karena ada hari bersejarah di sana.

Bayi terpaksa menunggu demi hari penting itu agar kelahirannya bisa dirayakan, dan semua orang tahu siapa bayi itu sebenarnya.

Publik yang penasaran

Di sebalik itu kita semua ternyata juga penasaran menunggu kelahiran "bayi capres dan cawapres" tapi disuguhi bermacam pola gesture, dagelan, bahkan aksi pesta dukung mendukung yang ditujukan kepada para bayi-bayi capres-cawapres itu.

Bahkan ada yang menduga akan ada "Balita" yang juga ingin bergabung dengan bayi prematur, dan bayi lainnya, meski ada syarat yang harus dipenuhi.

Maka yang terlihat sekarang wajah politiknya bermacam-macam, ada yang gembira karena punya bayi, ada yang bingung karena menunggu kelahiran, dan ada yang masih cari pasangan siapa tahu bisa punya bayi seperti orang tua lainnya. Bahkan ada yang menyodorkan Balita.

Mengapa setiap orang ingin punya bayi, karena ini hal itu untuk meneruskan trah politik, agar kekuasaan tidak vakum. Bahkan demi itu semua para orang tua bersaing!

Maka lihat saja wajah-wajah mereka sekarang, boleh-boleh saja mereka saling bertegur sapa, menimpali apapun kata orang lain, tapi di balik senyum dan ketawa-ketiwi mereka, ada "hati" lain yang bicara.

Itulah mengapa kita tak pernah tahu, apa suara hati yang sebenarnya. Jadi, sebaiknya kita tunggu saja waktunya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Airlangga Hadir di Bukber Nasdem, Opsi Jadi Cawapres Anies Terbuka?

Airlangga Hadir di Bukber Nasdem, Opsi Jadi Cawapres Anies Terbuka?

Nasional
Kehadiran Airlangga di Bukber Nasdem Dinilai Belum Cukup Kuat Beri Sinyal Merapatnya KIB Ke KPP

Kehadiran Airlangga di Bukber Nasdem Dinilai Belum Cukup Kuat Beri Sinyal Merapatnya KIB Ke KPP

Nasional
Bripka Handoko Buka Pintu Penjara supaya Anak Bisa Peluk Ayahnya, Kompolnas: Sosok Polisi yang Diharapkan Masyarakat

Bripka Handoko Buka Pintu Penjara supaya Anak Bisa Peluk Ayahnya, Kompolnas: Sosok Polisi yang Diharapkan Masyarakat

Nasional
Survei Indikator Politik: Ridwan Kamil Cawapres Teratas, Disusul Sandiaga Uno, AHY, dan Erick Thohir

Survei Indikator Politik: Ridwan Kamil Cawapres Teratas, Disusul Sandiaga Uno, AHY, dan Erick Thohir

Nasional
Simulasi 'Head to Head', Ganjar Menang atas Prabowo dan Anies

Simulasi "Head to Head", Ganjar Menang atas Prabowo dan Anies

Nasional
Cawapres Anies Disebut Layak dari NU, Pengamat: Untuk Tingkatkan Elektabilitas Anies di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Cawapres Anies Disebut Layak dari NU, Pengamat: Untuk Tingkatkan Elektabilitas Anies di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Nasional
Budi Gunawan Dinilai 'Dukung' Prabowo, BIN Diingatkan soal Netralitas

Budi Gunawan Dinilai "Dukung" Prabowo, BIN Diingatkan soal Netralitas

Nasional
Demokrat Ajak Parpol Lain Gabung Koalisi Perubahan: Untuk yang Masih Bingung Tentukan Arah

Demokrat Ajak Parpol Lain Gabung Koalisi Perubahan: Untuk yang Masih Bingung Tentukan Arah

Nasional
Komnas HAM Akan Surati Jokowi, Minta Amnesti untuk Budi Pego

Komnas HAM Akan Surati Jokowi, Minta Amnesti untuk Budi Pego

Nasional
Soal Cawapres Anies, PBNU: Kami Tak Berkapasitas untuk Mendukung, Menyodorkan, dan Merestui

Soal Cawapres Anies, PBNU: Kami Tak Berkapasitas untuk Mendukung, Menyodorkan, dan Merestui

Nasional
Polisi Buka Pintu Penjara karena Tak Tega Lihat Anak Peluk Ayahnya Terhalang Jeruji, Polri: Tidak Masalah, tapi...

Polisi Buka Pintu Penjara karena Tak Tega Lihat Anak Peluk Ayahnya Terhalang Jeruji, Polri: Tidak Masalah, tapi...

Nasional
Pejuang Lingkungan Tak Bisa Dipidana, Komnas HAM Sebut Penangkapan Budi Pego Kriminalisasi

Pejuang Lingkungan Tak Bisa Dipidana, Komnas HAM Sebut Penangkapan Budi Pego Kriminalisasi

Nasional
Survei Indikator Politik: Elektabilitas Prabowo Naik 2 Persen gara-gara Di-'endorse' Jokowi

Survei Indikator Politik: Elektabilitas Prabowo Naik 2 Persen gara-gara Di-"endorse" Jokowi

Nasional
Profil Tim Delapan yang Bantu Anies Baswedan Cari Kandidat Cawapres

Profil Tim Delapan yang Bantu Anies Baswedan Cari Kandidat Cawapres

Nasional
Survei Indikator Politik: 73,1 Persen Publik Cenderung Puas Kinerja Presiden Jokowi

Survei Indikator Politik: 73,1 Persen Publik Cenderung Puas Kinerja Presiden Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke