Sebab hukum bukanlah semata-mata ruang hampa atau persoalan hitam putih, melainkan sebagai sarana penegakan kebenaran dan keadilan bagi rakyat, dalam hal ini melalui proses peradilan pidana.
Pada kasus Bharada Eliezer, corak postivisme hukum atau menghamba pada aturan-aturan formal terlihat pada tuntutan JPU. Dalil JPU, tuntutan tersebut sudah sesuai dengan perumusan unsur dan ketentuan pidana dalam KUHP.
Namun, JPU tidak mempertimbagkan faktor lain seperti alasan penghapus pidana dan kedudukan Eliezer sebagai Justice Collaborator yang memudahkan pengungkapan fakta perkara.
Kebijakan hukum JPU tersebut, menurut saya, wajar dengan watak dan karakter lembaga kejaksaan yang diturunkan dari dokrtin “kejaksaan adalah satu (een en ondeelbaar)” sebagai lembaga yang berkarakter birokratis-hierarkis, sentralistik, serta berlaku sistem komando dalam pertanggungjawaban tugas.
Oleh sebab itu, hakim pada perkara ini akan menjadi penentu bukan hanya nasib masa depan Eliezer saja, tetapi wajah penegakan hukum Indonesia apakah berkarakter progresif yang menekankan pada keadilan atau kepastian hukum yang bercorak legisme-positivistik.
Berbagai putusan pengadilan yang dinilai mencederai masyarakat karena hakim yang bersikap legisme, melahirkan putusan-putusan pengadilan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Sebab, hanya mengacu kepada aturan-aturan formal belaka.
Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat untuk menemukan keadilan “berubah” menjadi medan perang untuk mencari menang (to win the case), sehingga membuat pengadilan masih dianggap sebagai bagian dari sistem hukum formal yang terlepas dengan masyarakat, maka tidak heran kalau dikatakan, pengadilan terisolasi dari dinamika masyarakat (Mahrus Ali:2007).
Sejatinya, hukum melalui sistem peradilan pidana memiliki fungsi sebagai sarana penyelesaian konflik, menegakkan keadilan dan kebenaran.
Cita hukum tersebut sesuai dengan amanat konstitusional Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Amanat konstitusi dan undang-undang kekuasaan kehakiman tersebut tidak akan tercapai jika hakim bersikap pasif, maka perlu adanya sikap aktif (Judicial Activism).
Sejalan dengan itu, Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Dworkin yang mengatakan peran hakim sesungguhnya harus “membuat hukum” (judge made law). Sebab hakim dalam memutuskan hukum (perkara) tidak dilakukan dengan hanya sekadar membaca teks undang-undang (textual reading) melainkan menggali moral di belakangnya (moral reading).
Cita hukum kekuasaan kehakiman di atas menghendaki hukum yang membebaskan atau hukum progresif.
Hukum progresif pada dasarnya tetap mengakui pentingnya ketentuan hukum yang tertulis dan tidak terikat secara normatif, tapi bebas melakukan terobosan pemikiran hukum demi keadilan.
Bagi penegak hukum progresif, sumber hukum adalah rasa keadilan masyarakat dengan menekankan pada kecerdasan spiritual, yaitu peran hati nurani dalam menyelesaikan perkara hukum yang ditanganinnya.
Paradigma penegak hukum dalam hal ini hakim harus diubah dengan tidak lagi menempatkan hukum sebagai pusatnya, melainkan beralih pada manusia.