Dari Santoso kita belajar arti bagaimana sang pelanjut menghormati dan tetap menghargai “sang mantan”.
Walau dirinya sempat diikat dan menerima tendangan bertubi-tubi dari para perampok serta istrinya diancam akan disakiti, uang simpanan dan perhiasan senilai Rp 400 juta digondol maling “didikan” sang mantan, tetapi dirinya tetap bersabar.
Santoso tetap berharap “sang mantan” bisa memperbaiki perilakunya. Dirinya menganggap tidak ada masalah dan memiliki persoalan pribadi dengan Samanhudi Anwar.
Pihaknya menyerahkan urusan pidana kepada kepolisian untuk mengusut tuntas kasus perampokan yang menggegerkan tanah air.
Santoso mengakui berkat Samanhudi Anwar, karir politiknya menjadi terasah dan belajar dari jejak kepemimpinan Samanhudi.
Rumah dinas Wali Kota Blitar hanya berjarak “sepelmparan” batu dengan Mapolres Blitar. Aksi perampokkan tersebut terkesan “rapih” karena berhasil mengetahui titik lemah pengamanan rumah dinas wali kota yang hanya dijaga personel satuan polisi pamong praja.
Butuh waktu sebulan lebih polisi mengungkap kasus “mantan” untuk membuatnya terang benderang.
Berbeda dengan kisah “permantanan” di Blitar yang “blangsak”, justru di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berakhir manis.
Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang “tanggal” posisinya di partai berlambang Kabah karena kasus korupsi jual beli jabatan di Kementerian Agama justru diperlakuan terhomat oleh partainya.
Selepas dari penjara, Rommy – sapaan akrabnya, didapuk oleh partainya menjadi ketua majelis pertimbangan dewan pimpinan pusat. Posisi yang sangat strategis, seakan melupakan jejak kesalahan yang pernah dilakukannya.
Rommy yang dicokok KPK dalam operasi tangkap tangan di Surabaya, 15 Maret 2019, saat akan menerima “setoran’ dari orang yang ingin mendapat jabatan di lingkungan Kementerian Agama.
Sempat terjadi adegan mirip “drama Korea” akhirnya KPK bisa membekuk Rommy tanpa perlawanan.
Praperadilan yang dilayangkan kubu Rommy atas proses penyadapan dan penangkapan yang dilakukan KPK dimentahkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Vonis yang diterima Rommy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi “menyunat” tuntutan dari jaksa KPK. Semula Rommy dituntut 4 tahun penjara, namun akhirnya “hanya” dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Masih tidak terima dengan hukuman penjara dua tahun, Rommy mengajukan banding dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali “mengkorting” masa hukuman Rommy tinggal setahun.
KPK yang mengajukan kasasi atas putusan banding pada 28 April 2020 ternyata “dicuekkin” hakim dan Rommy bisa menghirup udara bebas pada Maret 2020 (Tempo.co, 4 Januari 2023).
Di tengah prediksi sejumlah lembaga survei dan amatan pengamat yang memperikirakan suara PPP akan terjun bebas di Pemilu 2024 serta terancam keluar dari Senayan, langkah PPP kembali “mengkaryakan” sang mantan dianggap sebagai langkah berani.
PPP bertumpu pada alasan yuridis formal, yakni Rommy sudah selesai menjalani masa hukumannya dengan baik. Tuntutan penjara 4 tahun terhadap Rommy masih di bawah 5 tahun dari ketentuan Mahkamah Konstitusi tentang pencabutan hak politik.
Lagipula tidak ada diktum putusan hukum terhadap Rommy yang mencabut hak politiknya (Kompas.com, 02/01/2023).