Menurut hemat saya, pertama, pandangan-pandangan di atas sangat menyesatkan. Kita seperti sedang dibawa kembali ke era Orde Baru di mana segala hal bisa dihalalkan atas nama pembangunan.
Demokrasi dipreteli hingga menjadi banderol politik semata atas nama akselerasi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Kita semestinya belajar banyak hal dari lahirnya reformasi 1997/1998. Pandangan-pandangan menyesatkan di atas tidak akan membawa Indonesia menjadi negara kuat dan maju, karena dibangun di atas landasan kepercayaan kepada "figur atau personal (kepala desa)", bukan kepada aturan main dan institusi.
"A government of laws, and not of men”, kata John Adams, Presiden kedua Amerika Serikat.
Jadi yang harus diperkuat adalah institusi demokrasi sampai ke tingkat desa, bukan malah memperkuat posisi dan masa jabatan kepala desa.
Dengan masa jabatan 6 tahun saja untuk satu periode, masa jabatan seorang kepala desa masih jauh lebih panjang dibanding masa jabatan bupati, wali kota, gubernur, bahkan presiden.
Meskipun menghilangkan satu masa pemilihan, dari awalnya bisa dipilih sebanyak tiga kali menjadi dua kali dan masa maksimal menjabat tetap 18 tahun, artinya kementerian desa, anggota DPR yang mendukung, dan para kepala desa, telah menghapuskan satu institusi demokrasi di desa, yakni satu masa pemilihan.
Dengan kata lain, para pendukung usulan masa jabatan kepala desa selama 9 tahun lebih mengutamakan figur kepala desa dibanding institusi demokrasi di tingkat desa.
Menurut saya, pandangan ini sangat berbahaya, sama berbahayanya dengan usulan perpanjangan masa jabatan presiden atau usulan presiden tiga periode.
Dan yang cukup menyedihkan lagi, isu miring ini menimpa institusi demokrasi tertua di Indonesia, yakni pemerintahan desa.
Artinya, serangan terhadap demokrasi terjadi pada fondasi dasar demokrasi nasional, di mana budaya rembuk dan diskusi demokratis terjadi sudah sejak ratusan tahun lalu.
Bahkan Bung Hatta sedari dulu berkeyakinan bahwa salah satu sumber demokrasi nasional yang membuat Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menjadi negara demokrasi adalah adanya demokrasi desa yang berlangsung sejak dahulu kala.
Kedua, dengan menganut pandangan demikian, Menteri Desa dan para pendukung usulan tersebut secara tidak langsung mempertentangkan demokrasi dengan pembangunan.
Padahal, mengurangi satu kali proses pemilihan berarti mengurangi legitimasi pemimpin terpilih di desa, yang juga berarti menurunkan kadar kepemimpinan demokratis kepala desa.
Tentu tidak ada yang salah dengan niat untuk melakukan akselerasi pembangunan di desa dalam berbagai bentuk program dan kebijakan, tapi tidak semestinya institusi demokrasi seperti pemilihan dikecilkan dan dikurangi.