Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketum PBNU: Tradisi Politik Indonesia Berdasarkan Identitas, Sebut Warisan yang Sulit Dihapus

Kompas.com - 25/01/2023, 11:45 WIB
Vitorio Mantalean,
Bagus Santosa

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengakui bahwa meniadakan sentimen politik identitas pada Pemilu 2024 bukan upaya yang mudah.

Bukan saja karena sentimen ini dieksploitasi begitu rupa pada Pemilu 2019, namun menurutnya politik identitas juga telah menjadi semacam bawaan dalam realitas politik masyarakat Indonesia sejak dulu.

“Pertama, tradisi politik masyarakat kita memang pada awalnya dibangun atas dasar kurang lebih politik identitas, dalam hal ini praktik atau model dinamika politik yang berlangsung cukup lama, berapa puluh tahun,” ujar Yahya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Rabu (25/1/2023).

“Kita tahu bahwa sebagaimana diungkap oleh sejumlah peneliti bahwa peta politik Indonesia ini pada umumnya didasarkan pada politik aliran. Nah, hal ini menjadi semacam warisan,” tambahnya.

Baca juga: PBNU Larang Kampanye Bawa-bawa Nama NU

Yahya menyinggung rezim Orde Baru yang dianggap berupaya untuk meniadakan politik aliran ini menggunakan pendekatan otoriter pemerintah yang bertindak represif. Selama 32 tahun, pemerintahan Soeharto giat membonsai berbagai politik aliran untuk mempermudah kontrol negara.

Akan tetapi, cara ini toh tidak berhasil melenyapkan sentimen identitas dalam kontestasi politik secara permanen.

“Walaupun memang pada akhirnya ada pelunakan di dalam politik identitas itu, tetapi begitu terjadi reformasi politik dan represi pemerintah berhasil dihilangkan, kecenderungan politik identitas dan politik aliran itu meruyak kembali seperti sesuatu yang tadinya lama tersimpan dan tiba-tiba terbuka,” ungkap juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Yahya menegaskan bahwa hal ini menjadi pekerjaan rumah sekaligus tantangan berat bagi semua pihak, utamanya organisasi kemasyarakatan dan organisasi keagamaan.

Ia berharap, elite politik tidak lagi mengeksploitasi sentimen identitas sebagai senjata untuk memuaskan sesuatu yang ia sebut “syahwat politik”.

Baca juga: Prudential Syariah Gandeng PBNU untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi Syariah

Yahya mengeklaim bahwa NU bakal berfokus pada upaya pendidikan politik masyarakat, supaya kalangan akar rumput dapat memilih calon pejabat berdasarkan pertimbangan rasional, dan tak mudah tersulut oleh sentiment politik identitas yang telah terbukti membawa pembelahan jangka panjang.

“Tapi saya kira NU juga tidak mungkin mengerjakan strategi ini sendiri, perlu ada komunikasi lebih lanjut dengan stakeholder yang lain, ormas-ormas lain, organisasi-organisasi keagamaan yang lain, juga dengan partai-partai politik,” kata dia.

Upaya ini, menurutnya, tak cukup dilakukan hanya melalui pesan-pesan di dunia maya, melainkan harus secara nyata di lapangan agar pesan-pesan tersebut dapat diinternalisasi dengan baik oleh warga.

“Insya Allah ke depan NU akan lebih intensif di dalam mendorong strategi untuk kepentingan ini dan kami berharap bahwa ke depan aka nada kerja sama yang lebih erat dengan semua stakeholder yang ada. Kalau nanti Kemendagri bisa menjalankan peran sebagai lokomotif dari strategi ini, saya kira juga akan sangat membantu,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Nasional
Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Nasional
Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Nasional
PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

Nasional
Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com