Bahkan, sudut pandang Abdul Halim mengabaikan fungsi supervisi yang mendampingi dan melayani pemerintahan desa.
Tak hanya itu, Abdul Halim dituding tidak memiliki upaya atau langkah serius untuk mendengarkan keluhan atau persoalan yang dialami oleh pemerintahan desa.
Segala persoalan strategis yang dirasakan desa, kata Sunan, selama ini hanya selesai saat pihaknya meminta penyelesaian ke presiden.
"Kepada Menteri PDTT tidak ada respon dan langkah serius sehingga Apdesi, Abpednas, dan DPN PPDI mengharapkan kebijakan Bapak Presiden agar menempatkan menteri desa yang tidak membangun kesan atau upaya memanfaatkan pemerintah desa dan masuk dalam tanah kepentingan parpol tertentu," jelas Sunan.
Sementara itu, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dinilai sangatlah mengkhawatirkan bagi iklim demokrasi di pedesaan.
Tak hanya itu, perpanjangan masa jabatan kepala desa dianggap akan membuka keran abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan negara dan merusak local governance atau tata kelola pemerintahan lokal.
"Jika pemerintah mengabulkan permintaan kepala desa untuk memperpanjang masa jabatan hingga sembilan tahun, itu sangat tidak mendidik," tegas Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam kepada Kompas.com, Senin siang.
Umam menjelaskan, pemerintahan desa selama ini mempunyai berbagai problematika.
Contohnya, dana desa yang menyedot anggaranan negara dalam jumlah besar selama ini tak diikuti oleh sistem pengelolaan dan pengawasan yang transparan dan akuntabel.
Dengan minimnya pengawasan itu, penyalahgunaan dana besar oleh oknum kepala desa seringkali menjadi zona permainan penegakkan hukum di level grassroots atau akar rumput.
Akibatnya, alokasi dana desa yang begitu besar tidak diikuti oleh inovasi kebijakan pembangunan yang signifikan di satu pemerintahan terkecil ini.
"Alhasil, sel-sel korupsi menggurita di banyak tempat. Para kepala desa harus ikut mengevaluasi total, bukan justru meminta perpanjangan masa jabatan," tegas Umam kepada Kompas.com, Senin siang.
Di samping itu, Umam menegaskan, perpanjangan masa jabatan kepala desa bisa berpotensi menjadi alat transaksi politik untuk skema memenangkan atau mengalahkan pihak tertentu, baik di pemilihan legislatif (Pileg) maupun pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Tak hanya itu, menurutnya, kebijakan perpanjangan masa jabatan ini juga akan menjadi alat tukar untuk menghidupkan "botoh politik" yang siap mengamankan suara di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) di setiap desa, sesuai dengan selera pihak yang diajak bertransaksi.
"Artinya, kepala desa riskan dimobilisasi utk kepentingan politik tertentu (abuse of power). Hal ini jelas akan semakin melemahkan kualitas demokrasi dan juga tata kelola pemerintahan di Indonesia," ujarnya.
"Desentralisasi di tingkat desa bukan justru menguatkan prinsip transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, melainkan justru semakin mengokohkan jaringan oligarki yang mengakar hingga ke tingkat lokal," imbuh dia.
(Penulis: Syakirun Ni'am, Fika Nurul Ulya, Dian Erika Nugraheny | Editor: Sabrina Asril, Dani Prabowo, Bagus Santosa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.