GUBERNUR Jawa Barat, Ridwan Kamil, resmi berlabuh ke Partai Golkar sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Pemilih dan co-chair Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu). Emil – panggilan akrab Ridwan Kamil - sesumbar, berbekal modal 30 juta follower di media sosial (medsos) dia siap berkontribusi untuk partai berlambang beringin tersebut.
Baca juga: Gaet Suara 30 Juta Followers, Ridwan Kamil: Saya Posting soal Golkar 1 Hari Sekali
Jelang perhelatan pemilu, bukan hal baru para pesohor bergabung dengan partai politik. Kini tidak hanya selebritas dan birokrat, jejak itu pun diikuti para pegiat media sosial atau influencer. Terkini tersebutlah artis yang juga influencer Narji merapat ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kemudian Uya Kuya, Denny Cagur, dan Varel Bramasta ke Partai Amanat Nasional (PAN).
Nama terakhir malah memiliki 25, 9 juta follower di Instagram, modal yang memiliki daya tawar luar biasa di era selfie dan wifi. Sekarang influencer yang gesit berkumpul secara online untuk mengasah keahlian bertukar ide, menyempurnakan konten mereka, dan bersaing untuk menjawab semua tantangan politik.
Dulu seseorang maju dalam dunia politik berbekal modal sosial, kini bermodal digital berupa follower dan sejenisnya. Situasi ini terjadi karena kehendak dari dua pihak, tumbuh dari pola relasi yang saling menguntungkan satu sama lain atau simbiosis mutualisme.
Di satu sisi partai politik membutuhkan vote getter, sedangkan para pesohor membutuhkan ‘perahu’ untuk menapaki jalan menuju kekuasaan. Kepemilikan akun yang ber-follower ‘mega’ bukan tanpa alasan, mengingat wajah pemilih Indonesia lebih dari 65 persen generasi muda yang secara umum aktif di media sosial.
Tantangan komunikasi kaum muda sebagaimana diketahui beralih ke platform media sosial untuk informasi politik. Platform ini memungkinkan komunikasi langsung antara politisi dan warga negara, menghindari pengaruh berita tradisional.
Baca juga: Pemilu 2024 Didominasi Pemilih Muda, Apakah Peta Politik Akan Berubah?
Ada kompleksitas yang perlu diuji dan diformulasi ulang untuk kesuksesan aktivitas politik. Sebuah contoh terjadi di pemilihan di Amerika Serikat (AS). Kandidat senat dari Negara Bagian Pennsylvania, Mehmet Oz, dan kandidat gubernur Arizona, Kari Lake, memiliki banyak pengikut di media sosial. Oz dari acara TV-nya dan Lake dari pekerjaannya sebagai pembawa berita lokal di Arizona.
Pada hari-hari setelah pemilihan paruh waktu, beberapa pengguna media sosial mengklaim bahwa pengikut online yang besar itu membuat Lake dan Oz tidak mungkin kalah dalam pemilihan. Lawan mereka Fetterman dan Hobbs memiliki lebih sedikit pengikut.
Namun ternyata Fetterman dan Hobbs yang memenangkan pemilihan. Mereka mengalahkan Lake dan Oz. Dari contoh tersebut diketahui bahwa punya lebih banyak pengikut media sosial bukanlah satu-satunya faktor untuk memenangkan pemilu.
Adopsi platform media sosial oleh politisi sebagai alat komunikasi politik telah menghasilkan bentuk komunikasi baru antara politisi dan pemilih mereka. Sebelum munculnya media sosial, industri budaya massa (film, televisi, media cetak, fashion) tumbuh subur mengisi ruang publik dan lebih banyak digunakan oleh para aktor politik.
Dalam skenario baru ini, media sosial digunakan secara ekstensif dalam kampanye dan sering dikaitkan dengan keberhasilan dalam sebuah kontestasi pemilu atau program. Contohnya pada kampanye Barack Obama (2008 dan 2012), Donald Trump (2016), Brexit (2016), Bolsonaro untuk pemilu Presiden Brasil (2018) dan terbaru Anwar Ibrahim di Malaysia (2022).
Baca juga: Komika sebagai Aktor Politik Indonesia
Sungguh media baru (new media) telah memberi perubahan radikal terhadap saluran komunikasi publik dalam aktivitas politik. Dari sedikit kepada banyak (from few to many), audiens yang sejenis menjadi lebih beragam (from unified to diversified), transmisi dari satu arah menjadi interaktif (from one-way to interactive), dan peran pengguna dari pasif menjadi aktif (from passive to active).
Secara menyeluruh, media sosial mengubah penekanannya dari “keunggulan kreatif” pendekatan di media massa lama, menjadi “keunggulan konten” bermerek di media sosial. Media sosial telah memainkan peran sentral dalam sistem politik dan penyelenggaraan pemilu selama beberapa dekade terakhir.
Dengan media sosial politisi melakukan kampanye permanen tanpa terkendala geografis atau waktu. Informasi tambahan apa pun tentang para politisi dapat diperoleh tidak hanya melalui pers, tetapi langsung dari profil bio di jejaring media sosial atau melalui orang lain yang secara sukarela berbagi (share, subscribe, dan love).
Jika dahulu proses kampanye dilakukan melalui mimbar dan panggung yang bersifat fisik, kini bertransformasi dalam medium digital. Aktivitas politik yang diunggah melalui media sosial dipercaya semakin meneguhkan digital positioning para aktor politik dalam persepsi publik.