Seperti Barber, kita pun menyadari bahwa ‘demokrasi itu tidak sempurna’. Artinya, proses dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis tidak menjamin akan membawa hasil yang sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh UUD 1945.
Oleh karena itu, melalui amandemen UUD 1945, kita bersepakat untuk menerapkan prinsip demokrasi konstitusional (constitutional democracy).
Melalui amandemen UUD 1945 kita juga bersepakat untuk menggunakan representasi proporsional sebagai sistem dalam pemilu kita.
Kesekapatan itu terjadi karena kita ingin mengakomodasi karakter bangsa kita yang multietnis, multiagama, dan multiideologi itu. Jadi, melalui sistem proporsional kita percaya dapat mencapai hasil Pemilu yang tak bertentangan dengan amanah UUD 1945.
Dalam bentuknya yang paling sederhana, representasi proporsional dengan sistem daftar melibatkan setiap partai yang mengajukan daftar calon legislatif (caleg) kepada pemilih di setiap daerah pemilihan bersifat majemuk.
Representasi proporsional dengan sistem daftar adalah cara paling populer untuk memilih perwakilan di dunia. Tak kurang dari 80 negara di dunia menggunakan sistem ini dengan dua varian sistem daftar (terbuka dan tertutup) untuk memilih parlemen mereka.
Keunggulan sistem proporsional daftar (khususnya terbuka) adalah, pertama, memungkinkan perwakilan dari budaya/kelompok minoritas untuk terpilih.
Ketika, seperti yang sering terjadi, perilaku memilih sesuai dengan pembagian budaya atau sosial suatu masyarakat, maka sistem daftar terbuka ini dapat membantu memastikan bahwa badan legislatif mencakup anggota kelompok mayoritas dan minoritas.
Artinya, sistem ini memberikan ruang politik yang memungkinkan partai-partai mengajukan daftar calon yang multiras dan multietnis.
Kedua, membuat perempuan lebih mungkin terpilih. Para ahli politik berpendapat bahwa sistem ini hampir selalu lebih bersahabat dengan pemilihan perempuan daripada sistem pluralitas/mayoritas.
Intinya, partai dapat menggunakan daftar tersebut untuk mendorong kemajuan politisi perempuan dan memberikan ruang kepada pemilih untuk memilih caleg perempuan dengan tetap mendasarkan pilihannya pada kebijakan lain selain gender.
Berbeda dengan sistem daftar terbuka, sistem daftar tertutup memiliki kelemahan, terutama karena memakai varian daftar tertutup.
Pertama, sistem daftar tertutup menghasilkan hubungan yang lemah antara legislator terpilih dan konstituen mereka. Ketika daftar digunakan, dan khususnya ketika kursi dialokasikan, maka hubungan antara pemilih dan perwakilan mereka menjadi kabur.
Selama lebih dari tujuh dekade, kita (Indonesia) pernah menggunakan dua varian reprentasi proporsional, yaitu daftar terbuka dan tertutup.
Kita pernah menggunakan daftar tertutup pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999. Lalu, pasca-Perubahan UUD 1945 kita juga menggunakan daftar terbuka, yaitu pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2004, 2009, 2014, dan 2019.