Celah sengketa kewenangan antara DPR dan MK, menurut penulis, dapat dihindari jika keduanya tetap mematuhi rambu-rambu dan koridor negara hukum demokratis, yaitu mekanisme checks and balances.
Jika dalam proses pengujian perpu di MK sedang berlangsung, sementara DPR telah memberikan persetujuan terhadap perpu menjadi undang-undang, maka MK berwenang untuk “menghentikan” prosesnya.
Dari perkara pengujian perpu di MK selama ini, pada kenyataannya MK kemudian memutuskan pengujian perpu dengan “menyatakan permohonan tidak diterima” oleh karena telah kehilangan obyek.
Ini bisa dibaca dari Putusan MK No. 91/PUU-XI/2013 bertanggal 30 Januari 2014 terkait Pengujian Perpu MK.
Juga dalam Pengujian Perpu Ormas sebagaimana dalam Putusan MK No. 38/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 39/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 41/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 48/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 49/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 52/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; dan Putusan MK No. 58/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017.
Sebaliknya, jika misalnya MK telah memutuskan suatu perpu inkonstitusional, sementara DPR belum memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perpu, maka jika mengacu pada mekanisme checks and balances sudah seharusnya DPR menolak perpu yang lebih dahulu telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK yang diberikan kewenangan konstitusional oleh UUD 1945.
Jika keduanya, baik DPR maupun MK berjalan dalam rambu-rambu dan koridor konstitusional utamanya mekanisme checks and balances, maka kekhawatiran akan adanya sengketa kewenangan antara keduanya tidak perlu terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.