ADA yang menarik dari pernyataan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra dalam menyikapi diskursus terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja).
Menurut mantan Mensesneg era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang menguji Perpu Cipta Kerja sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Jika MK menguji Perpu sebelum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil sikap, hematnya, MK bertindak prematur (Kompas.com, 11/01/2023).
Penulis tertarik untuk memberikan tanggapan atas pandangan hukum dari guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Ini mengingat dalam preseden hukum yang sudah ada, MK pada kenyataannya telah beberapa kali melakukan pengujian perpu terhadap UUD 1945.
Hingga kini sudah ada beberapa perkara terkait pengujian perpu. Dalam riset penulis melalui situs resmi MK (https://www.mkri.id), perkara-perkara terkait pengujian perpu sebagai berikut:
Dari data yang disebutkan di atas sangat jelas Mahkamah telah melakukan pengujian sejumlah perpu terhadap UUD 1945 dan kemudian memutusnya. Ada Perpu KPK, Perpu MK, Perpu Ormas, dan Perpu Akses Informasi Keuangan.
Data mutakhir di MK menunjukkan ada 2 (dua) perkara yang sudah teregistrasi di MK terkait pengujian perpu dalam hal ini pengujian formil atas Perpu Cipta Kerja, yaitu Perkara No. 5/PUU-XXI/2023 dan Perkara No. 6/PUU-XXI/2023.
Kedua perkara pengujian Perpu Cipta Kerja ini yang lantas mendapat tanggapan hukum dari Yusril Ihza Mahendra.
Dalam pandangan hukum Yusril, kewenangan yang lebih dahulu membahas perpu menurut UUD 1945 diberikan kepada DPR.
DPR yang akan membahas perpu sebelum kemudian memutuskan apakah perpu itu diterima atau ditolak.
Jika MK sampai lebih dahulu menyatakan perpu bertentangan dengan UUD 1945, ketika DPR sedang membahas perpu, maka dapat menimbulkan sengketa kewenangan antara DPR dan MK.
Padahal, lanjut Yusril, MK-lah satu-satunya lembaga tinggi negara yang diberikan mandat konstitusional untuk mengadili sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusannya terkait pengujian perpu sangat tegas menyatakan bahwa MK berwenang untuk melakukan pengujian atas perpu terhadap UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bertanggal 08 Februari 2010, halaman 21, Mahkamah berpendapat:
Pertama, norma hukum dalam perpu sebelum DPR memberikan pendapat untuk menolak atau menyetujuinya adalah berlaku seperti undang-undang.
Kedua, oleh karena norma hukum perpu menimbulkan kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, maka Mahkamah dapat mengujinya apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Mahkamah berwenang untuk menguji perpu terhadap UUD 1945.
Ketiga, kewenangan Mahkamah menguji perpu meliputi baik sebelum perpu itu dibahas DPR maupun setelah disetujui DPR menjadi undang-undang.
Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bertanggal 8 Februari 2010, halaman 21, menyebutkan, “Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang”.
Pendapat atau pertimbangan hukum Mahkamah di atas secara konsisten diterapkan dalam memutus perkara pengujian perpu selanjutnya.
Kalau kita lihat dari pendapat atau pertimbangan hukum Mahkamah di atas di satu sisi, dan pandangan hukum dari Yusril Ihza Mahendra di sisi lainnya, maka terdapat perbedaan.
Yusril berpendapat Mahkamah tidak berwenang menguji Perpu Cipta Kerja sebelum disahkan menjadi undang-undang. Sementara Mahkamah berpendapat berwenang menguji perpu baik sebelum maupun setelah disahkan menjadi undang-undang.
Dengan demikian, Mahkamah berwenang menguji Perpu Cipta Kerja yang sudah teregistrasi di MK dengan Perkara No. 5/PUU-XXI/2023 dan Perkara No. 6/PUU-XXI/2023.
Pertanyaan yang perlu didiskusikan: apakah jika MK lebih dahulu menguji perpu dan misalnya menyatakan perpu inkonstitusional, sementara DPR sedang membahas perpu, dapat membuka celah sengketa antara DPR dan MK?
Penulis berpendapat celah sengketa kewenangan antara DPR dan MK bisa dihindari secara hukum.
Merujuk pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945, DPR memiliki kewenangan konstitusional untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perpu.
Pada ketentuan lain, mengacu pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK memiliki kewenangan konstitusional untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 dan terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022, bahwa Perpu sederajat dengan undang-undang.
Dengan demikian, sebagaimana juga telah ditafsirkan oleh MK dalam putusannya, MK berwenang menguji perpu sebelum dibahas DPR maupun setelah menjadi undang-undang.
Dari sisi konstitusi, baik DPR maupun MK keduanya sama-sama memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian atas perpu.
Celah sengketa kewenangan antara DPR dan MK, menurut penulis, dapat dihindari jika keduanya tetap mematuhi rambu-rambu dan koridor negara hukum demokratis, yaitu mekanisme checks and balances.
Jika dalam proses pengujian perpu di MK sedang berlangsung, sementara DPR telah memberikan persetujuan terhadap perpu menjadi undang-undang, maka MK berwenang untuk “menghentikan” prosesnya.
Dari perkara pengujian perpu di MK selama ini, pada kenyataannya MK kemudian memutuskan pengujian perpu dengan “menyatakan permohonan tidak diterima” oleh karena telah kehilangan obyek.
Ini bisa dibaca dari Putusan MK No. 91/PUU-XI/2013 bertanggal 30 Januari 2014 terkait Pengujian Perpu MK.
Juga dalam Pengujian Perpu Ormas sebagaimana dalam Putusan MK No. 38/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 39/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 41/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 48/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 49/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; Putusan MK No. 52/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017; dan Putusan MK No. 58/PUU-XV/2017 bertanggal 12 Desember 2017.
Sebaliknya, jika misalnya MK telah memutuskan suatu perpu inkonstitusional, sementara DPR belum memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perpu, maka jika mengacu pada mekanisme checks and balances sudah seharusnya DPR menolak perpu yang lebih dahulu telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK yang diberikan kewenangan konstitusional oleh UUD 1945.
Jika keduanya, baik DPR maupun MK berjalan dalam rambu-rambu dan koridor konstitusional utamanya mekanisme checks and balances, maka kekhawatiran akan adanya sengketa kewenangan antara keduanya tidak perlu terjadi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.