Ini menjelaskan mengapa parlemen banyak diisi para selebriti yang memiliki pengalaman politik terbatas dan pemahaman mekanisme bernegara yang minim.
Pada saat yang sama, partai politik hanya digunakan sebagai kendaraan politik tanpa agenda yang solid dengan keterikatan ideologis dan pemikiran yang sangat cair.
Alih-alih khawatir dengan fenomena ini, elite partai justru mulai menikmatinya. Elite partai politik merasa diuntungkan dengan popularitas tinggi para calegnya meskipun tidak kompeten. Popularitas caleg secara cepat dapat mendongkrak suara dan kursi di parlemen.
Bagi partai politik, memiliki caleg populer merupakan cara instan tanpa perlu bersusah payah melakukan kaderisasi panjang yang melelahkan.
Lebih buruk lagi, elite partai politik nampak lebih nyaman dengan anggota-anggota parlemen yang kurang kompeten karena lebih mudah dikontrol suaranya di parlemen sesuai dengan keinginan elite partai.
Akibatnya anggota parlemen memang terbatas dihitung kuantitasnya yang diperlukan dalam pemungutan suara daripada gagasan-gagasan cerdas dan aspiratif yang disuarakannya.
Ketika dulu model perwakilan politik (political representation) diperkenalkan, para pemikir politik dan ketatanegaraan memperingatkan risiko menggunakan jenis perwakilan ini yang dapat menyebabkan terciptanya government by amateurs, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang tidak memilki keahlian dan tidak memahami tugas dan fungsinya.
Hal tersebut terjadi karena perwakilan politik lebih mementingkan popularitas dan akseptabilitas dibanding kualitas.
Orang-orang duduk di lembaga perwakilan semata karena memperoleh suara lebih banyak dibanding lawannya, tidak peduli kemampuan apa yang dimilikinya yang menjadi alasan mereka terpilih.
Untuk mengatasi akibat buruk ini didirikanlah partai politik sebagai salah satu solusinya. Dengan keberadaan partai politik, wakil-wakil rakyat yang dipilih berdasarkan popularitas tersebut dilengkapi dengan agenda-agenda politik kenegaraan, jaringan pemilih dan konstituen yang terlembaga, kajian mendalam dalam pembentukan kebijakan dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, partai politik telah membuat para wakil rakyat memiliki perjuangan politik yang terstruktur dan sistematis.
Dari formulasi ini terlihat jelas bahwa tugas para caleg adalah membangun basis dukungan berdasar ketokohan dan popularitasnya.
Sedangkan partai politik melakukan fungsi-fungsi agregasi kepentingan, kaderisasi kepemimpinan, struktur aspirasi yang kuat dan terlembaga, sosialisasi kebijakan serta jenis-jenis pemberdayaan wakil rakyatnya.
Keduanya harus berlangsung sinergis, tanpa partai politik para wakil rakyat terlihat seperti macan ompong. Memiliki dukungan pemilih tapi tidak memiliki gagasan kuat dan mengakar.
Namun partai juga tidak mungkin tanpa suara signifikan untuk terus berpengaruh kuat dalam pembentukan kebijakan.