DISKUSI memilih sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup seakan nampak meruncing kearah memilih kedaulatan rakyat atau kedaulatan partai politik. Seakan kedua tidak didamaikan.
Memilih proporsional terbuka berarti melemahkan partai politik dan menaikkan derajat kedaulatan rakyat.
Sementara memilih proporsional tertutup seakan berarti memperkuat partai politik yang di saat bersamaan berisiko mereduksi peran rakyat dalam menentukan wakil-wakilnya.
Tulisan ini berupaya untuk mendamaikan pilihan-pilihan tersebut dan mencari formulasi yang sinergis antarpartai politik dan kedaulatan rakyat, khususnya dalam pemilihan umum di Indonesia.
Kemunculan sistem proporsional terbuka dianggap sebagai solusi dari hegemoni partai politik. Pilihan penggunaan sistem proporsional terbuka membuat pemilih ditempatkan sebagai pemegang mandat utama yang dapat menentukan langsung wakil rakyat yang dipilihnya.
Sistem ini memungkinkan pemilih mencoblos langsung nama dari caleg yang mereka inginkan dan jika caleg terebut mendapatkan suara terbanyak dibanding rekan-rekannya sesama caleg di partainya, maka caleg tersebut terpilih untuk duduk di parlemen, meskipun partai politik menempatkan namanya di nomor buncit dari prioritas caleg di suatu dapil.
Hal ini berbeda dengan sistem yang pernah ada di Indonesia sebelumnya, yakni proporsional tertutup.
Dalam sistem proporsional tertutup, para pemilih hanya dapat mencoblos partai politik saja. Kemudian, jika partai politik tersebut mendapatkan kursi di parlemen, maka partai politik yang menentukan caleg mana yang akan duduk di parlemen.
Keberadaan sistem proporsional tertutup dianggap bermasalah disebabkan minimnya partisipasi pemilih dalam menentukan individu caleg yang mampu merepresentasikan kepentingan pemilih.
Dominasi partai politik dalam sistem proporsional tertutup memungkinkan sirkulasi demokrasi yang homogen pada elite yang terbatas.
Keberadaan proporsional terbuka kemudian mendobrak distribusi elite ini. Pada sistem proporsional terbuka, pemilih tidak lagi membeli kucing dalam karung.
Para pemilih diberikan peluang untuk memilh caleg dan bukan sekadar parpol. Hal ini berkontribusi pada lahirnya wajah baru anggota parlemen di Indonesia.
Permasalahan kemudian muncul manakala penggunaan sistem proporsionalitas terbuka ternyata melahirkan anggota parlemen yang memiliki kapasitas politik yang rendah dan kemampuan pemahaman gagasan kenegaraan terbatas.
Popularitas dan akseptabilitas memenangkan pertarungan pemilu mengalahkan kualitas dan intelektualitas politik.
Banyak anggota legislatif yang terpilih semata mengandalkan popularitas dan bukan merupakan hasil kaderisasi partai politik.