Pada 7 Februari 1989, tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihiedung, pusat gerakan. Menjelang subuh, keadaan di Cihiedung sudah berhasil dikuasai oleh ABRI. Dalam bentrokan ini, sedikitnya 246 penduduk sipil tewas.
Tragedi Rumah Geudong adalah peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh pada 1989-1998.
Tragedi Rumah Geudong terjadi di sebuah rumah tradisional di Aceh yang dijadikan sebagai markas TNI di Desa Bili, Kabupaten Pidie.
Dalam Rumah Geudong, para TNI melakukan misi dan pengawasan terhadap masyarakat dan memburu pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ketika sedang menjalankan misi, tidak sedikit juga pasukan Kopassus melakukan tindakan di luar perikemanusiaan.
Mereka melakukan penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau yang diduga anggota GAM di Rumah Geudong. Akhirnya, pada 20 Agustus 1998, massa membakar Rumah Geudong.
Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 merujuk kasus penculikan aktivis pro-demokrasi yang terjadi antara Pemilu Legislatif Indonesia 1997 dan jatuhnya kekuasaan Soeharto pada 1998.
Kasus penculikan aktivis 1997-1998 dilakukan oleh tim khusus bernama Tim Mawar, yang dibentuk oleh Mayor Bambang Kristiono.
Total ada 22 aktivis yang ditangkap, di mana 13 di antaranya ditahan oleh Tim Mawar di Markas Kopassus Cijantung, salah satunya adalah Wiji Thukul.
Ketiga belas aktivis tersebut sampai saat ini masih belum diketahui keberadaannya, sedangkan sembilan aktivis yang lain dipulangkan ke rumah mereka.
Desmond Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Rahardjo Waluyo Djati, dan Faisol Riza yang disekap selama kurang lebih 1,5 - 2 bulan dipulangkan ke kampung halamannya.
Sedangkan Aan Rusdianto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, yang disekap selama tiga hari diserahkan oleh Tim Mawar ke Polda Metro Jaya pada 15 Maret. Ketiganya baru dibebaskan 5 Juni 1998.
Adapun 13 aktivis yang hilang, yakni Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Pada 13 Mei hingga 15 Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Penyebab pertama yang memicu terjadinya Kerusuhan Mei 1998 adalah krisis finansial Asia yang terjadi sejak 1997.
Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang dipecat, 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar juga dihentikan.
Krisis ekonomi yang tengah terjadi kemudian memicu rangkaian aksi unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia.
Dalam unjuk rasa tersebut, ada empat korban jiwa yang tewas tertembak. Mereka adalah mahasiswa Universitas Trisakti, yakni Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendiawan Sie.
Tewasnya keempat mahasiswa tersebut pun menambah kemarahan masyarakat yang saat itu sudah terbebani dengan krisis ekonomi.
Singkatnya, setelah itu terjadi pembakaran, perusakan, serta penjarahan toko dilakukan oleh massa. Kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi saat itu sudah lumpuh total.
Angka resmi menunjukkan sebanyak 499 orang tewas dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Selain itu, lebih dari 4.000 gedung juga hancur atau terbakar. Kerugian fisik yang ditanggung oleh pemerintah Indonesia sendiri adalah sebesar Rp 2,5 triliun.
Demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Orde Baru terjadi pada 12 Mei 1998.
Kejadian tersebut lalu dikenal dengan Tragedi Trisakti, karena terdapat empat mahasiswa dari Universitas Trisakti yang meninggal dunia dalam peristiwa itu.
Keempat mahasiswa tersebut tewas tertembak di dalam kampus saat mengikuti demonstrasi yang menuntut turunnya Soeharto dari jabatan presiden.
Sedangkan, Tragedi Semanggi I merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 11-13 November 1998.
Tragedi Semanggi merujuk pada dua aksi protes masyarakat dan mahasiswa terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Aksi tersebut mengakibatkan 17 warga sipil tewas setelah terlibat bentrokan dengan aparat.
Namun, hingga lebih dari dua dekade kemudian, upaya penyelesaian kasus Tragedi Semanggi I guna memberi keadilan bagi korban dan keluarganya belum juga menemui titik terang.
Sementara, Tragedi Semanggi II bermula dari keputusan DPR mengesahkan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).
Beberapa saat setelah DPR menyetujui RUU PKB, ribuan mahasiswa, buruh, aktivis partai politik, lembaga non-pemerintah dan profesi serentak menuju Senayan. Mereka menuntut pembatalan UU PKB tersebut.
Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU itu mengakibatkan bentrokan berdarah. Puluhan mahasiswa terluka akibat tembakan, injakan, pukulan dan gas air mata.